⭐Bantu vote nya teman-teman ^^
📜ꦿ📜ꦿ📜ꦿ
•
•
•
°°°SAUDARI SI PEMUDA WALANG SANGIT°°°
•
•
•
📜ꦿ📜ꦿ📜ꦿDi kamis pagi yang segar tiada-tara ini, Jenggala dengan senyumnya yang juga segar sudah sedari tadi siap untuk menggowes sepedanya, mungkin sudah sekitar 20 menitan dia hanya diam seperti itu masih dengan ekspresi yang sama.
Matahari belum cukup tinggi untuk membuatnya buru-buru melaju dengan kesetanan seperti terakhir kali dia naik sepeda dan berakhir menabrak pohon di dekat toko bunga.
Ngomong-ngomong, sepeda kuningnya yang dia namai Kuning juga sudah diperbaiki Nadesh, lagi. Ya, meskipun pemuda itu dibantu sedikit oleh Dewa. Jenggala ngapain? Duduk-duduk santai aja sambil makan pisang goreng sama mas Raden.
Kembali ke topik awal. Alasan mengapa Jenggala masih menetap di pekarangan rumahnya yang penuh bunga warna warni adalah sosok pria tinggi yang sedang mengoceh memperingatinya ini-itu seperti ibu-ibu yang memberi pesan pada anak kelas 1 esdeh sebelum dilepas ke sekolah.
Tak lain dan tak bukan, Mas Raden Jakti Pramoda yang sudah dia anggap pengganti ayah meskipun kadang kala dia harus merelakan jidatnya digetok sendok es buah ketika memanggil pria itu dengan sebutan "abah".
"Terus, jangan lewat jalan itu lagi, lewat jalan biasa aja. Jangan ngebut, fokus aja naik sepedanya, kalau ada ibu-ibu enggak usah didadah-dadahin, apalagi kalau mang Tony kebetulan lewat, jangan sampe mampir dulu makan bakso satu mangkok," Nasehat Raden menatap Jenggala serius.
Pria itu sudah siap juga dengan motor dan helm di kepalanya, sudah ganteng mau pergi melamar kerja di suatu kantor perusahaan yang direkomendasikan Dinda tadi malam.
Namun, mengingat Jenggala baru keluar dari rumah sakit tiga hari yang lalu -karena Jenggala juga sempat terserang demam sepulangnya dari rumah sakit jadi totalnya dia tidak ke sekolah selama tiga hari- dan memaksa untuk berangkat sekolah dengan menggunakan sepeda, Raden jadi sedikit was-was dan masih merasa trauma membiarkan Jenggala pergi dengan si Kuning.
"Daaan, jangan sampe kejadian itu keulang lagi ya Jenggala, ini bukan percandaan. Lo ngerti?"
Jenggala mengangguk semangat, sangat semangat sampai topi yang terpasang di kepalanya terjatuh ke belakang.
"Sampe rumah nanti, jangan mampir kemana-mana apalagi lewat jalan itu lagi, langsung pulang. Jangan main dulu. Pulang, terus makan, pasti makanannya udah gua siapin di meja baru gw pergi lagi. Istirahat. Lo baru pulih hari ini. Kalau lo enggak ngotot sambil ngerengek kayak orang gila, gw enggak bakal ngijinin lo. Jadi, jangan sampe bikin gua khawatir, apalagi jatuh dari sepeda lagi, atau enggak gua bakar nih Kuning biar mampus." Raden sedikit menendang sepeda Jenggala yang sudah sekinclong matahari.
"Asyiap!!" Jenggala mengangguk semangat lagi, namun kali ini dia memegang topinya erat-erat.
Setelah itu, mereka berangkat pada tujuan masing-masing. Jika biasanya Raden akan membonceng Jenggala sampai ke halte Bus atau anak itu jalan sendiri ke sana, kali ini Jenggala berangkat mengayuh sepedanya tanpa ditemani oleh siapapun.
Sesuai petuah yang diberikan Raden, Jenggala menahan mati-matian hasratnya yang ingin berbelok ke pinggir jalan di mana gerobak bakso mang Tony berada. Masih dari jarak satu meter saja wanginya sudah tercium sangat semerbak membuang perut Jenggala meronta-ronta.
Tapi anak itu tetap melanjutkan perjalannya, sampai melewati halte bus dan menggowes sepedanya sedikit lebih cepat lagi, hingga jarak sekolah sudah tak seberapa jauh, dia menemukan sosok seorang pemuda berjalan dengan langkah kesal di pinggir trotoar, tasnya yang biru muda membuat Jenggala langsung salfok dan berakhir berhenti tepat di samping pemuda itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lament of Lavender Petals
Ficción GeneralJudul sebelumnya → Seperti Halnya Hortensia Ganti judul ke → Lament of Lavender Petals Untuk luka masa lalu yang entah kapan akan sembuhnya. Juga kalimat-kalimat pahit yang sialnya harus dia telan meski sudah lelah dijejali itu semua. Dirinya pun...