ꦿ📜ꦿ📜ꦿ📜
•
•
•
•
°°°WAKTU TERASA SINGKAT°°°
•
•
•
ꦿ📜ꦿ📜ꦿ📜Jenggala tidak tau kemana dia harus melangkah, karena semua jalan yang ia tempuh akan melukai orang-orang yang ada dalam hatinya. Dia pikir dirinya sudah tidak berguna setelah membuat Raden kecewa berkali-kali, tapi fakta bahwa semua hal yang ada pada tubuhnya justru memberikan luka yang begitu dalam pada Hera lebih menyakitkan dari yang sebelumnya. Cukup membuat Jenggala merasa bahwa dirinya adalah duka yang tak seharusnya lahir ke dunia.
Apakah Jenggala memang seharusnya tiada saja? Kehadirannya di sini justru membuat hidup orang-orang yang sepantasnya bahagia menjadi menderita, Jenggala sadar akan dirinya yang tak berhenti memberi kesedihan pada orang-orang, dan dia sudah lelah dengan itu. Apapun yang Jenggala lakukan, rasanya adalah sebuah kesalahan besar.
"Gua nyesel lo lahir di dunia."
Dhanan ya? Sejujurnya semua kata yang keluar dari bibir lelaki itu selalu tersimpan di kepala Jenggala, tak bisa dia hapus, selalu terbawa kemana-kemana.
Padahal ketika melihat Dhanan pertama kali waktu itu, Jenggala rasanya ingin melompat saking senangnya, dia tidak menyangka bisa bertemu dengan saudara kandungnya setelah bertahun-tahun lamanya, dia ingin sekali memeluk Dhanan, menceritakan banyak hal pada Dhanan, mengatakan bahwa dia sangat menyayangi Dhanan dan ingin selalu berada di sisinya.
Tapi melihat bagaimana sorot mata pria itu seolah membakarnya hidup-hidup membuat Jenggala mengurungkan semua niatnya, dia terluka setiap kali Dhanan menatapnya dengan amarah dan kecewa, tanpa sedikitpun rindu di kedua netranya yang selalu dilapisi kaca mata.
Dari mereka kecil, Dhanan memang tidak suka jika Jenggala mencoba untuk mengusik dunianya, dia tidak suka bagaimana figur kecil itu terlihat di matanya, dia tidak suka setiap tarikan nafas Jenggala yang seolah tak punya dosa, dia tidak suka bagaimana sorot Jenggala yang belum mengerti apa-apa. Intinya, Dhanan akan ada di garis terdepan jika itu soal membenci Jenggala.
Berbeda dengan Jenggala, yang sorot matanya selalu teduh, selalu melempar pandangan rindu, ada banyak air mata yang ingin tumpah di dalam sana, tapi dia tahan sekuat tenaga ketiga keluarganya yang tersisa bahkan enggan untuk sekedar menyentuhnya tanpa rasa sakit.
Untung saja, di dunia ini Tuhan memberikannya rumah sehangat Raden, yang sekarang tengah ikut mengukir jarak, akibat kemarahan yang menampar bolak-balik Jenggala. Lelaki itu tidak pernah nampak batang hidungnya selama Jenggala di rumah sakit.
Meskipun Raden ingin menjauh, Jenggala akan tetap berusaha meredakan amarah pria itu, karena di dunia ini, Raden adalah manusia nomor dua yang dia sayangi. Apapun akan Jenggala lakukan agar Raden masih ingin memeluknya seperti dulu.
Mas Raden itu orang yang benar-benar baik, hanya kata yang keluar dari mulutnya saja yang menyakitkan, padahal sebenarnya hatinya tidak ingin mengatakan itu. Jenggala sudah hidup dengannya selama puluhan tahun dan anak itu tau persis bagaimana sikap seorang Raden.
Suara pintu yang terbuka mengalihkan arah pandang Jenggala dari jendela, sosok tinggi semampai Dhanan berdiri tegap di hadapannya, dengan wajah yang selalu dingin dan sorot mata yang tak pernah berubah. Selalu berusaha ingin membakar Jenggala hidup-hidup.
Pria itu berhenti sebentar untuk memandang keadaan sang adik yang terbaring di ranjang rumah sakit, punggung tangannya dipasangi infus, bibirnya pucat, matanya sayu, Dhanan bisa menangkap ketakutan dan kerapuhan lewat dua mata sipit itu.
Dhanan berdecih, kemudian lanjut untuk berjalan ke arah sofa dan mengambil tas serta ponselnya. Selama itu, Jenggala selalu memperhatikannya.
"Bang—"
"Biaya rumah sakit gua yang bayar, kurang nggak tau malu apa lo? Gua yang ngurus lo di sini selama lo pingsan kayak orang sekarat, jadi gua harap lo mau balas-budi dengan jangan keliatan lagi di hadapan gua, kapan pun, karena gua udah ada di titik benci banget sama lo." Dhanan berucap demikian, tak membiarkan Jenggala mengucapkan kalimatnya lebih dulu.
Sejenak Dhanan merasa aneh dengan ucapannya barusan, apalagi melihat Jenggala yang kini tak lagi menatapnya, anak itu terlihat sangat lesu, mungkin sakit hati, tapi Dhanan tetap tidak peduli.
"Besok lo boleh pulang," ucap Dhanan, pria dengan kaca mata bening itu ingin segera menggapai gagang pintu, tapi pertanyaan Jenggala selanjutnya membuat dia berhenti.
"Abang tau nggak Jenggala sakit apa? Soalnya Jenggala sering ngerasa sesek terus sakit gitu di dada," tanya anak itu dengan ragu, mau bagaimanapun dia masih ingat sekeras apa kepalan tangan Dhanan menghantam wajahnya.
Dhanan memutar bola matanya malas, pria itu sepertinya sudah benar-benar ingin keluar dari ruangan pesakitan itu sekarang juga. "Tanya sama dokternya lah, ngapain lo nanya ke gua?" ujarnya sebelum benar-benar menutup pintu dengan keras.
"Iya, Bang..."
Jenggala menatap sisa-sisa kepergian Dhanan dengan sendu, dalam hati dia ingin bersorak bahagia, Dhanan ternyata masih punya sisi perhatian karena pria itu sudah ingin merawatnya saat Jenggala, tapi di sisi lain Jenggala merasakan luka yang sangat dalam ketika Dhanan meminta balas-budi dengan tidak memperlihatkan dirinya lagi di depan pria itu.
Mungkin di kehidupan lain, ketika Dhanan menjadi abangnya lagi dengan kondisi keluarga mereka yang harmonis, Jenggala bisa memeluk Dhanan sepuasnya, tanpa perlu khawatir dengan semua pukulan dan makian yang akan di lontarkan. Ya, jika Jenggala masih di beri kesempatan untuk tetap menjadi adik dari seorang Dhanantario Natama.
Ngomong-ngomong, di mana dua sahabatnya itu?
•
°
°
°
°
ꦿ📜ꦿ📜ꦿ📜ꦿ📜
°
°
°
°
•"Emang lawak banget si Hebian! Nangis sampe ingusnya jatuh ke lantai pas tau lo masuk ICU. Tuh anak ngebet banget sih, Gal pengen dateng ke sini." Kahes bercerita dengan semangat, sesekali Jenggala tertawa terbahak, begitu pula dengan Dewa yang lagi makanin jeruk yang dia bawa sendiri, niatnya sih mau dikasih ke Jenggala tapi anaknya sendiri lebih milih makan biskuit dari pada buah.
"Terus dianya ke sini nggak?" tanya Jenggala.
Kahes sempat berfikir dulu sebelum menjawab, menimbang-nimbang apakah ucapannya tidak akan membuat Jenggala merasa sedih atau semacamnya.
"Sebenernya gua sama Dewa juga selalu mau jengukin lo ke sini kok, Gal, tapi abang lo ngelarang kami masuk," jelas Kahes. Jemarinya yang lentik bergerak menggaruk pelipisnya yang tak gatal.
Dewa yang menyadari pembahasan tidak seseru tadi langsung menghentikan aksi makan jeruknya. "Lo nggak papa, Gal?"
Pasalnya Dewa menyadari raut sepat-sepat di wajah itu, dia jadi memandang Kahes malas, seolah berbicara lewat tatapannya. "Ngapa musti lu bahas?!"
Jenggala tertawa menanggapi pertanyaan Dewa, sambil memukul lengan atasnya dengan reflek. "Nggak papa elah! Nanya doang, napa sih? Sorry ya, abang gua memang posesif kalau menyangkut soal adeknya makanya lo pada nggak dibiarin buat ngejenguk gua dulu," ujar anak dengan rambut ikal itu, lagak jumawanya yang menyebalkan bukan main sejenak membuat hasrat Kahes membara untuk menampolnya.
Dewa tersenyum dengan khas, lengkungan bulan sabit di mata pria itu sudah menjadi ciri khasnya,sering banget dikatain imut sama cewek-cewek.
"Baguslah kalau gitu, berarti sayang bener dah. Tapi sekarang lo udah baik-baik aja kan?"
Jenggala mengangguk pasti, meskipun masih lemas dan dadanya rada sakit, tapi dia merasa jauh lebih baik. "Cuman gua belum tau sebenernya gua sakit apa, takutnya ada apa-apa soalnya emang akhir-akhir ini gua sering sesek gitu."
Kahes dan Dewa menyadari raut gelisah di wajah pucat itu, jujur saja ada perasaan khawatir yang juga muncul di keduanya, namun memilih mereka pendam agar Jenggala tidak semakin kepikiran.
"Palingan sesek biasa, Gal. Udah, nggak usah terlalu dipikirkan, yang penting besok lo pulang, kita party di rumah gua!!" Kahes bersorak gembira.
Dengan tanpa belas kasih, Dewa melemparkan anggur ke kepala anak itu yang sekarang terlihat seperti orang gila, berputar-putar sambil melompat gembira.
"Party-party, masi masa pemulihan goblok!"
•
°
°
°
°
ꦿ📜ꦿ📜ꦿ📜ꦿ📜
°
°
°
°
•
KAMU SEDANG MEMBACA
Lament of Lavender Petals
General FictionJudul sebelumnya → Seperti Halnya Hortensia Ganti judul ke → Lament of Lavender Petals Untuk luka masa lalu yang entah kapan akan sembuhnya. Juga kalimat-kalimat pahit yang sialnya harus dia telan meski sudah lelah dijejali itu semua. Dirinya pun...