Hari tidak harus berjalan dengan indah, tapi di setiap hari pasti ada saja yang indah.
ꦿ📜ꦿ📜ꦿ📜
•
•
•
•
°°°SORAK PETIR YANG MENGHANCURKAN LANGIT°°°
•
•
•
ꦿ📜ꦿ📜ꦿ📜Selasa bertemu Selasa, hari-hari berlalu begitu saja, memang menyentil hati tatkaa Jenggala merasakan perubahan drastis yang terjadi di rumah mereka.
Raden benar-benar irit bicara padanya, mereka tak lagi bercerita, tak lagi saling merecoki, tidak ada lagi duduk-duduk di teras saat malam hari seraya meminum secangkir kopi untuk Raden dan segelas susu coklat untuk Jenggala.
Tidak ada lagi menyiapkan sarapan bersama, tak ada lagi suara panci yang ribut menggetok kepala Jenggala. Tidak ada lagi bercerita tentang hari yang penat di sekolah ketika pria itu cuci piring sedangkan Jenggala duduk manis di meja makan. Tidak ada lagi tidur berdua di depan tv menghabiskan malam Minggu dengan siaran favorit mereka.
Segalanya terasa sangat hampa.
Jenggala selalu berusaha memulai percakapan, memanggil Raden dengan kejenakaannya, dia ingin setidaknya Raden kesal dan berujar sesuatu padanya, akan tetapi sikap Raden terlampau dingin, tidak bisa Jenggala tembus sedikitpun.
Raden tidak menyiapkan apapun pada Jenggala, pria itu menghindari satu ruangan dengan anak yang begitu menyayanginya, pria tinggi semampai itu sudah jarang pulang sore, Jenggala tidak tau aktifitasnya di luar rumah karena Raden tidak pernah bercerita.
Hari ini sekolah diliburkan karena ada rapat guru, kalaupun tidak diliburkan Jenggala tetap tidak akan pergi sekolah, orang tadi bangunnya aja jam 9 pagi.
Keberadaan Raden sudah menghilang sejak dia terbangun, rumah rasanya sangat sepi, temaram, dan sendu. Mungkin karena dua orang di dalamnya yang pernah sedekat jarum dan benang kini merenggang.
Jenggala tidak ingin berlama-lama di rumah dengan keadaan seperti itu, kebetulan dia sedang rindu pada seseorang, dia ingin bertemu orang itu dan menceritakan kejadian akhir-akhir padanya. Jadilah, Jenggala meneruskan langkahnya untuk pergi dari rumah.
Menelusuri jalanan yang sepi sendirian, karena ini adalah musim hujan, trotoar yang dia pijaki menjadi lembab, bau patrikor tercium dimana-mana, Jenggala bisa melihat beberapa ekor capung terbang di atas kepalanya, beberapa juga hampir menabrak kepalanya.
Jenggala itu sangat suka berjalan kaki, karena itu dia menikmati perjalanan, apapun yang ada dalam jangkauan matanya akan terasa indah dan mempesona, bahkan untuk hal-hal kecil sekalipun.
Hingga tak terasa, dua tungkai jenjang itu sudah berdiri di depan pintu toko bunga yang begitu dia kenali, beberapa hari terakhir dia senang sekali kemari, selain untuk mengunjungi bunga-bunga yang melambai-lambai di dalam sana, dia juga sengaja datang sekedar untuk menemui perempuan kesukaannya.
Kring!
Lonceng di atas pintu berbunyi runcing ketika kenap dia putar dan dorong ke dalam. Senyum Jenggala mengembang, menyambut Arunika yang sedang menyiram tanaman. Perempuan itu terkejut mendapati kehadirannya, lantas langsung meletakkan benda penampung air yang dia pegang dan bergegas menghampiri Jenggala.
"Pagi menjelang siang, Gala," sapa lembut Arunika.
Mendengar itu Jenggala kemudian mengangguk halus dan membalas, "pagi menjelang siang juga," tuturnya.
Arunika mengajaknya untuk duduk, menarik lengan anak itu untuk duduk di kursi kesukaannya, berpamitan sebentar dengan alasan ingin membuatkan Jenggala secangkir teh manis.
Jenggala hanya menerima apa yang Arunika mau, padahal niatnya ke sini bukan sepenuhnya untuk meminum teh, mengobrol panjang, dan menatap wajah Aru. Tapi apalah daya menolak pun Jenggala rasanya tidak bisa, berlama-lama di tempat estetik ini lumayan membuat jiwanya tenang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lament of Lavender Petals
Genel KurguJudul sebelumnya → Seperti Halnya Hortensia Ganti judul ke → Lament of Lavender Petals Untuk luka masa lalu yang entah kapan akan sembuhnya. Juga kalimat-kalimat pahit yang sialnya harus dia telan meski sudah lelah dijejali itu semua. Dirinya pun...