Hevy nggak tau harus ngerespon gimana pas Mark ngenalin dua orang di depannya dengan lebih sopan.
Wanita paruh baya dengan senyum tipis di wajahnya natap dia dari ujung kaki sampe ujung rambut, ngebuat dia sedikit nggak nyaman meskipun tidak disampaikan.
"Hev, ini mamaku."
Sementara pria yang lebih muda duduk di samping mama Mark, nunjukin cengiran yang bikin Hevy pengen nimpuk mukanya pake majalah, soalnya keliatan banget lagi ngejekin mereka.
"Ini Jarvis, adek aku."
"Jadi, kalian ini pacaran?"
"Enggak tante," Hevy buru-buru menepis pertanyaan mama Mark, "Saya temennya Mark."
Dia nggak punya kalimat lain untuk ngejelasin eksistensinya di sini ke mama Mark, soalnya dia yakin kalo keluarga Mark yang tau pria itu dalam masa perawatan psikologis pasti cuma Mbak Tyana aja dan siapalah Hevy yang berani buka mulut.
"Pacaran juga nggak apa-apa padahal," senyumnya terkembang lebih lebar, "Kamu gurunya Shanin kan, ya?"
"Betul, Bu."
Tangannya mencubit lengan Mark, meminta pria itu untuk mengeluarkan dia dari rasa canggung yang muncul.
"Mama kenapa tumben ke sini?"
"Loh, harusnya mama yang nanya dong."
Atensi wanita itu akhirnya beralih pada anak keduanya, "Kamu ini sakit apa? Kenapa nggak bilang mama coba? Kalo mama nggak nonton televisi, mama mana tau kalo anak mama lagi sakit."
Elah.
Mark nunduk, mencoba buat nyusun kalimat yang tepat untuk disampaikan ke ibunya.
Dia belum siap untuk jujur, belum bisa ngeliat raut kasian dan panik di wajah sang ibu, nggak siap dengan segala jenis saran pengobatan yang pasti bakal disarankan wanita itu.
"Aku cuma capek?"
"Capek ... ya? Bener capek?"
"Iya, Ma. Selama berkarir, aku jarang ambil rest, kan? Jadi, mungkin sekarang waktunya, lagian aku juga butuh waktu buat healing, buat diriku sendiri. Im fine at all kok."
Mata ibunya memicing tajam, menelisik wajah sang putra, mencari kebohongan di raut wajah Mark yang semakin tirus.
"Yaudah, kalo gitu kamu pulang ke rumah gih, mama bakalan masakin kamu banyak makanan kesukaan, liburan aja di rumah. Kamu tuh jarang banget loh ke rumah sejak kerja jadi artis."
"Ma ..." Hevy bisa denger ada nada letih di ujung kalimat yang Mark ucap, "Aku pasti bakalan pulang kok, mama tenang aja. Aku baik, aku oke. Aku nggak kenapa-napa kalo itu yang mama khawatirkan."
"Sayangnya mama," oh sekarang Hevy udah tau darimana keras kepalanya Mark nurun, "Kamu tuh numpang di perut mama sembilan bulan, mama yang gedein kamu, mama yang kasih makan kamu, mama tau kamu lagi nggak baik-baik aja, mukamu nggak bisa bohong, Mark."
"Nanti ya, Ma? Nanti aku cerita ke mama, nggak sekarang. Tapi, aku serius, aku nggak apa-apa."
Iya, Mark beneran nggak apa-apa, selagi ada Hevy di sini, ada tangan gadis itu untuk dia genggam, ada peluknya yang bisa menenangkan Mark saat tantrum.
Dia nggak apa-apa.
"Bener loh ya?"
"Iya. Aku belum lupa jalan pulang kok."
Mama akhirnya ngehela napas panjang, kembali melarikan fokus pada Hevy yang ngangguk canggung.
"Kamu juga main-main ke rumah ya, jangan mau diajak berduaan di apart terus sama Mark."
KAMU SEDANG MEMBACA
Nine Wine-Wine
FanfictionHevy, Sarjana Psikologi yang sekarang menjadi guru konseling di TK kalangan atas. Si Buta Nada, baginya musik itu hanya ada bagus, bagus aja sama bagus banget. Bertemu dengan Mark, idol top yang lagunya selalu nangkring di Top #1 under the Moonlight...