Read this carefully.
Telentang.
Menyamping.
Telungkup.
Udah puluhan cara dicoba Hevy agar bisa terlelap tapi nyatanya kantuk masih belum mampir. Kalimat yang Ibu Tya ucapkan tadi pas mereka ngobrol masih terngiang jelas di telinganya.
Tentang kondisi adik iparnya yang Hevy ingat adalah seorang musisi kenamaan ibukota, juga gimana kagetnya Tya saat menemukan sang adik tertidur dengan wajah super pucat dan kantong mata menebal, pun sederet obat yang dia konsumsi tanpa sepengetahuan keluarga.
Hevy rasanya ingin lupa, tapi wajah khawatir perempuan itu terbayang jelas, mengingatkan dia pada bertahun silam saat abang Jo menemukan dirinya nyaris tenggelam di bath up kamar mandi.
"Saya tau saya lancang meminta ini," Tya menerbitkan senyum tidak enak, "Tapi, saya juga yakin kalo Mark tidak mudah percaya pada siapapun itu."
"Jadi, maksudnya ibu Tya tuh ..."
"Iya, Miss. Saya mau meminta tolong kamu untuk menjadi psikolog pribadi Mark."
"Bu, konsentrasi saya pas kuliah ambil keluarga bukan—"
"Setidaknya kamu lebih paham dari saya."
Hevy ngembusin napas panjang, kembali menatap wanita di depannya yang masih bertahan dengan sorot intimidasi yang kuat—atau mungkin dirinyalah yang mereka terintimidasi.
"Hevy, tolong pikirkan baik-baik ya. Berapa pun biaya konsultasinya saya bisa bayar, Mark hanya butuh teman bercerita selain kami karena setiap kali pulang, dia hanya memosisikan diri sebagai pendengar. Kami lupa kalo kadang Mark juga ingin didengarkan."
***
Tya bersyukur banget karena Mark itu terlalu mudah ditebak, percobaan ketiga dia udah berhasil masuk ke apartemen pria itu. Padahal dia udah siap-siap mau nelepon mama buat nanya.
Tidak ada suara atau sapaan yang nyambut dia pas masuk, hanya ada sepatu yang tergeletak di lantai dan mantel di sandaran sofa, dapurnya dingin dan hening, Tya udah bisa nebak kalo adik iparnya pasti masih di kamar.
Jarum jam menunjuk angka sembilan saat wanita itu memutar kenop pintu. Matanya terbelalak kaget saat ngeliat Mark tidur di atas kasur dengan wajah pucat, di tangannya masih ada bungkusan obat yang pas Tya searching nyaris bikin jantungnya copot.
Sejak kapan Mark mengonsumsi obat ini?
Kenapa?
Ada apa?
Mark sebenernya sakit apa?
Rasa kagetnya masih berlanjut saat membuka nakas dan menemukan puluhan papan obat yang sama, lutut Tya rasanya lemas.
Apa yang udah dia lewatkan?
Apa yang nggak diceritain Mark ke keluarga?
Kenapa pria itu milih buat nanggung semuanya sendiri?
"Mark. Bangun, yuk? Udah jam sembilan."
Tya duduk di tepi ranjang, ngeliatin mata yang pelan mengerjap sebelum akhirnya terbuka lebar.
"Kak? Ngapain di sini?"
"Cuci muka dulu, kakak tadi sempet order makan nanti makan bareng."
Meski masih bingung, Mark akhirnya nurut, ngebiarin kakak iparnya beresin kasur yang cukup berantakan.
Tya udah duduk di kursi makan pas dia keluar dengan handuk kecil yang dipakai untuk ngusap wajah, di atas meja udah tersaji sarapan khas negeri Sakura.
"Makan yuk."
KAMU SEDANG MEMBACA
Nine Wine-Wine
FanfictionHevy, Sarjana Psikologi yang sekarang menjadi guru konseling di TK kalangan atas. Si Buta Nada, baginya musik itu hanya ada bagus, bagus aja sama bagus banget. Bertemu dengan Mark, idol top yang lagunya selalu nangkring di Top #1 under the Moonlight...