Nine Wine-Wine #14

1.1K 244 14
                                    

Read this carefullyyy.

mentioning depression, panic attack, anxiety

***

Depresi tidak pernah memilih dari mana kamu berasal atau bagaimana latar belakangmu.

Hevy lupa pernah baca itu dimana tapi kayaknya cocok banget untuk kasus omnya Shanin. Dilihat dari sudut pandang manapun, Mark sangat mustahil mengidap depresi.

Pria itu punya segalanya. Popularitas, kekayaan, keluarga, karir, wajah yang rupawan, seharusnya Mark sudah merasa cukup dan baik-baik saja dengan apa yang dia miliki.

Tapi, nyatanya, di sinilah Hevy sekarang, duduk di depan Mbak Tya yang menatap dia penuh rasa terima kasih karena Hevy udah setuju buat kenalan sama Mark.

Dia menyebutnya sebagai kenalan aja, kalo emang Hevy rasa sanggup buat handle, dia akan terus lanjut tapi jika dirasa Mark butuh penanganan yang lebih baik, dia nggak akan segan buat rujuk ke psikolog yang lebih berpengalaman.

"Mark tinggal sendiri, Vy."

"Okay?"

"Sejak karirnya mulai bagus dan jobnya mulai rame, Mark memilih untuk tinggal di apartemen."

"Dari keluarga sendiri mbak, apa ada yang kontra atau ngelarang Mark untuk berkarir?"

Tyana menggelengkan kepala, "Seingat aku ya, Vy, sepanjang aku jadi bagian dari keluarga mereka, nggak ada satupun anggota keluarga yang ngelarang Mark untuk berkarir dibidang entertainment kayak sekarang, justru mereka support banget."

"Dari keluarga berarti nggak ada tekanan ya mbak?"

"Betul."

"Lingkungan kerjaan gimana mbak? Apakah sama supportive-nya?"

"Nah itu, Vy," kursi Tya dimajukan, lebih merapat ke arah Hevy, "Mbak kurang tau gimana dia di lingkungan kerja soalnya kan bidangnya beda banget ya, kita cuma tau kalo dia cerita atau liat berita di internet."

Hevy menganggukkan kepala, permasalahan depresi atau mental health emang kompleks banget, mulai dari penyebab, penanganan sampai efek samping.

Coretan besar di notesnya ngebuat Hevy udah bisa menerka, pertemuan pertamanya dengan Mark nanti akan jadi seperti apa.

"Jadi, Vy, kapan bisa ketemu sama Mark?"

***

Mark nggak tau, apakah ide untuk bertemu orang yang lebih professional ini ide yang baik atau justru buruk, disaat dia sendiri nggak paham apa maunya hati.

Rasanya dia pengen bilang ke kakak iparnya kalo dia baik-baik aja, sangat amat baik kalau berisik di kepalanya tidak muncul tiba-tiba atau saat suasana hatinya tidak turun seketika.

Tapi Tyana merasa dia harus mendapatkan pertolongan secepat mungkin.

Mark mensyukuri kepedulian kakak iparnya. Tapi, terbuka pada orang baru bukanlah hal yang mudah, terlebih berbicara tentang sesuatu yang dia sendiri masih berusaha untuk sangkal sampai saat ini.

Kakak bakalan ke apart kamu bareng psikolog kenalan kakak.

Nafasnya dihela pelan, Mark tau kalo hari ini tidak akan berjalan baik dan mungkin jauh lebih panjang dari biasanya saat bel apartemennya berbunyi nyaring dan sosok kakak iparnya muncul dengan wajah lugu yang mengerjap menatapnya.

Ah, gadis itu rupanya.

***

Mereka duduk di balkon, dipisahkan meja bulat dengan dua kaleng soda di atasnya. Mark natap gedung-gedung tinggi ibukota dari tempatnya duduk, gadis di sebelahnya masih enggan untuk buka mulut dan Mark menunggu.

Nine Wine-WineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang