Nine Wine-Wine #16

1.1K 246 11
                                    

Mark menatap dua orang petinggi di agensinya, kemudian beralih pada manajernya—Bang Yudha—yang meremas bahunya lembut. Seolah meyakinkan kalo apapun keputusannya, itu yang terbaik untuk Mark ke depannya.

"Jadi, hiatus sementara ya?"

"Iya pak."

"Tidak ada batas waktu?"

"Tidak. Saya butuh waktu cukup lama untuk pulih."

Kedua petinggi itu menghela napas panjang, saling melempar tatap kemudian akhirnya membubuhkan tanda tangan untuk persetujuan hiatusnya salah satu artis paling potensial dan termahal di agensi mereka.

Mark Dharmawangsa adalah asset besar, bukan hanya karena potensi yang dia miliki atau nama besar keluarganya tapi juga tentang gimana dia yang terlahir seolah untuk jadi bintang.

Untuk dipuja dan dikagumi. Untuk bersinar di atas panggung dengan segala yang dia miliki.

"Terima kasih, pak. Saya pamt."

"Mark, semoga segera pulih ya."

Senyum kecil yang terkesan dipaksa muncul dari bibirnya, "Saya juga harap demikian."

Sosok Bang Yudha mengikuti dari belakang, pria itu udah bilang bakalan selalu di sampingnya apapun yang terjadi, makanya pas Mark mutusin buat hiatus, dia juga ngajuin cuti.

"Beneran nggak mau kerja sama gue aja? Di kantor papa?"

"Nggak deh, passion gue nggak di sana. Lagian, duitnya ada kok, lebih dari cukup kalo cuma buat seneng-seneng setahun dua tahun, sambil nemenin proses sembuhnya elu."

Mark memeluknya sebelum naik ke atas mobil, Yudha nepuk kecil bahunya, ngasih semangat yang emang dibutuhkan saat ini oleh artis yang udah dia asuh sejak masih jadi trainee.

***

Aku udah di luar ya.

Hevy mempercepat gerak tangannya membereskan semua perlengkapan ke dalam tas.

Hari ini dia udah buat appointment dengan psikolog dan psikiater yang pernah menangani dia dulu dan Mark juga udah setuju.

Daripada minum obat tanpa resep nggak jelas, lebih baik dia ke sana, konsultasi ke yang lebih ahli untuk mencari solusi tentang apa yang dia rasakan akhir-akhir ini.

"Gue duluan ya!"

Jana ngangguk kecil, dia udah tau kegiatan Hevy akhir-akhir ini, makanya nggak kaget kalo tiba-tiba anak itu nggak bisa dihubungi atau ngilang di jam kerja.

Sebagai konselor, Hevy memang nggak harus stay sampai jam pulang sekolah, meskipun masih harus dapet izin dari kepala sekolah.

Mobil Mark parkir di depan gerbang, Hevy bisa mengenali range rover hitam bernomor plat tanggal lahir pria itu.

"Hey," Mark menyapa lebih dulu saat Hevy duduk di sampingnya.

Tak dan barang bawaan perempuan itu diletakkan di kursi belakang.

"Hey, nunggu lama?"

"Nggak kok. Ke rumah lu dulu apa langsung?"

"Langsung aja, gue nggak ganti baju lagian."

"Oke."

Mark menahan diri unutk tidak melirik Hevy berkali-kali. Perempuan itu tampak jauh lebih menarik dan atraktif dalam balutan setelan semi formal.

Blouse dengan kerah berpotongan rendah ditutupi blazer hijau pupus, dipadukan celana berbahan kain dan sepatu setinggi lima senti untuk membalut kaki jenjangnya.

Nine Wine-WineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang