Nine Wine-Wine #20

1.3K 250 14
                                    

Mark tau setelah ini mamanya pasti bakal menuntut lebih banyak penjelasan, tentang kenapa dan bagaimana bisa Miss Hevy yang mereka kenal adalah guru di sekolah Shanin tiba-tiba ada di rumahnya.

Belanja bareng, ketawa bareng, dan mungkin ngelakuin banyak hal lain yang tidak mereka ketahui.

Maka dari itu, hari ini dia inisiatif pulang ke rumah, walaupun harus nelan dua butir obat penenang terlebih dulu.

Kak Tyana bilang, semua orang lagi ngumpul karena papa baru aja balik dari business trip ke Belgia.

Ini kesempatan yang bagus untuk dia ngejelasin banyak hal. Hevy bilang, salah satu poin untuk dapat berdamai dengan diri sendiri adalah menjelaskan seperti apa kita ke orang dan biarkan orang yang memberi penilaian.

Mark jarang sekali menyetir mobil, kemana-mana selalu ditemenin manajer dan asisten, ini kali pertama dia ngeliat macetnya Jakarta langsung dari kaca supir.

Suara radio yang nemenin dia sepanjang jalan bikin suasana hatinya lumayan naik.

It's a good day!

***

"Jadi, tantrum itu sendiri adalah ledakan emosi ya, Bu. Biasanya, kalo mereka mengalami hal yang sulit, misalnya nggak bisa buka tutup botol atau pengen sesuatu tapi nggak dikasih, mereka akan mengekspresikan emosinya dengan menangis, menjerit, berteriak, atau marah-marah."

Hevy menatap ibu-ibu yang hari ini kompak memakai seragam berwarna merah muda. Dia juga nggak paham siapa yang inisiasi tapi keliatan lucu aja gitu.

"Itu hal yang normal bu sebenernya, bahkan bisa disebut sebagai bagian dari tumbuh kembang anak. Nah, kapan tantrum ini dinilai melebihi batas?"

Ada jeda sejenak yang Hevy pakai untuk berkomunikasi dengan orang tua yang tampak excited di depannya.

"Intensitas ngamuknya sering?"

"Yep, salah satunya."

Senyumnya mengembang semakin lebar, membuat sudut matanya ikut terangkat, aura Hevy emang selalu bikin nyaman dan tenang.

"Kalau ngamuknya terlalu sering, marahnya sampai melukai diri sendiri dan orang lain atau durasi mengamuknya lumayan lama."

"Terus bu," satu ibu-ibu dengan tas Gucci mengangkat tangan, "Cara ngatasinnya gimana? Terutama kalo tantrumnya di depan publik?"

"Kontak fisik, Bu." Hevy mengangguk meyakinkan, "Peluk anaknya. Pelukan itu membuat anak ngerasa nyaman dan tau bahwa ibu peduli, ibu dengerin apa yang dia mau."

"Setelah emosinya lumayan redam, ibu jelasin pelan-pelan, kenapa dia boleh dan tidak boleh melakukan ini, bikin aturan yang menguntungkan kedua belah pihak. Misalnya, saat jalan ke mall, ibu janji bakal belikan dia mainan atau es krim kalau dia jadi anak baik."

"Miss Hevy sudah menikah belum?"

Dapet pertanyaan semacam itu ngebuat Hevy menggaruk kepala, agak bingung gimana jawabnya.

"Saya ... masih single, bu."

"Mau tak jodohin sama adek ipar saya nggak? Tenang aja, sudah mapan kok, kerjanya di BIG 4."

Aduh.

Hevy senyum kecil, ngelanjutin materi yang tadi dia siapin untuk kelas konseling ibu yang rutin diadakan di sekolahnya.

Nggak sekali dua kali dia dapet tawaran gitu dari orang tua muridnya, dikenalin, blind date, bahkan izin untuk ngasih nomer ponselnya.

Dia sangat berterimakasih, tapi urgensi nyari jodoh tuh belum masuk dalam kategori gawat.

Nine Wine-WineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang