Jarvis cuma bisa menggaruk kepala pas mama nanyain kondisi kakaknya, dia tau kalo dunia maya lagi heboh tentang kabar hiatus kakaknya, tentang semua project yang dibatalkan atau ditangguhkan, tentang Mark yang menghilang dari sosial media padahal cowok itu termasuk artis yang sering berinteraksi dengan penggemar.
"Kamu temenin mama ke apart kakakmu, takutnya kenapa-napa tapi kita malah nggak tau."
Diultimatum begitu, Jarvis udah pasti nurutlah, dia bisa dicoret dari daftar pewaris kalo nggak ikutin kata baginda ratu.
Tangannya memencet ponsel, mencoba nelepon kakak ipar yang lebih tau gimana kondisi Mark karena pernah ke sana beberapa waktu lalu, sayangnya ponsel Tyana berada di luar jangkauan.
"Anjir, Mark kenapa sih!?"
***
Mark tau kalo Hevy pasti menepati janjinya dengan tetap professional. Tapi, bagi Mark rasanya sulit untuk menatap Hevy dengan cara yang sama lagi, susah menatap mata itu tanpa mengingat kembali malam panas nan panjang yang pernah mereka lalui bersama minggu lalu.
"Mark?"
"Sorry, kurang fokus."
Bahunya dielus pelan, Hevy kembali melepas senyum kecil, akhir-akhir ini kondisi Mark membaik walaupun masih sulit untuk tidur lelap tapi setidaknya udah lumayan bisa mengontrol diri sendiri.
"Mau makan nggak? Gue masakin."
"Nggak ada bahan masakan, Vy. Gue nggak bisa masak."
"Yaudah, mau coba ke supermarket? Di bawah ada, kan?"
Pria itu tampak berpikir sejenak, dia udah jarang banget pergi ke tempat umum yang rame, soalnya bisa memicu panick attack dan anxietynya muncul.
Tapi, senyum di bibir Hevy bikin dia ngangguk kecil.
"Ditemenin, kan?"
"Iya, ditemenin."
"Oke, gue ambil jaket dulu."
"Oke!"
Punggung lelaki itu berlalu ke kamar, ninggalin Hevy yang akhirnya ngembusin nafas panjang di ruang tengah.
Tangannya cekatan ngeberesin buku di atas meja, dia dan Mark tadi emang lagi terapi ringan melalui tulisan biar Mark nggak bergantung pada obat terus.
Dadanya masih berdetak lumayan kencang, siapa yang bilang cuma Mark aja yang sedikit canggung setelah malam panas mereka minggu lalu?
Karena setelahnya, Hevy nggak pernah bisa melepas bayangan Mark dari otaknya.
Gimana lembutnya cowok itu mengusap kulitnya atau gimana halusnya suara cowok itu membisikkan kalimat manis.
Dia lega karena Mark masih menghubunginya, minta dia buat datang ke apartment karena kondisinya kembali kurang stabil.
Walaupun Hevy harus mati-matian menahan diri untuk bersikap biasa aja.
"Vy, ayo."
Mark keluar dengan kaos hitam dilapisi cardigan, rambutnya yang udah lumayan panjang diikat ke belakang dengan masker yang menutup separuh wajah.
"Yuk."
Pintu di belakang mereka tertutup pelan, Hevy mengangkat alis saat Mark tak kunjung mengikuti jalannya.
"Kenapa?"
"Boleh pegang tangan nggak?"
"Hmm?"
"Gue deg-degkan."
Ah ...
Hevy ngulurin tangannya, mengenggam jemari Mark yang mendingin, mencoba untuk mengantarkan panas dari telapak tangannya agar pria itu merasa baik-baik saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nine Wine-Wine
FanfictionHevy, Sarjana Psikologi yang sekarang menjadi guru konseling di TK kalangan atas. Si Buta Nada, baginya musik itu hanya ada bagus, bagus aja sama bagus banget. Bertemu dengan Mark, idol top yang lagunya selalu nangkring di Top #1 under the Moonlight...