Sejak pertemuannya dengan Jaemin tadi siang, Renjun tak tau ia mesti kemana saat ini. Jika ia pulang, ia tak mau Jaemin mengetahui tempat tinggalnya saat ini. Karena demi Tuhan, Jaemin masih terus mengikutinya disaat Renjun sekarang tengah berada di kamar mandi di tempat kursus biola miliknya.
Entah dari mana Jaemin mengetahui tempatnya saat ini, yang jelas tadi ia pun terkejut begitu keluar dari kelas ia mendapati Jaemin ada di dekat ruang penyimpanan loker anak-anak. Kalimat pertama yang Jaemin ucapkan saat melihatnya tadi tentu saja maaf, dan Renjun langsung dibuat emosi mendengar kata itu. Karena membawa ingatannya pada kelakuan Jaemin yang begitu ia benci.
Awalnya Renjun tak meladeninya dan hanya berlalu pergi mengabaikan Jaemin sepenuhnya, tapi Jaemin terus mengikutinya hingga sekarang Renjun memutuskan diam di kamar mandi. Dan ia masih bisa mendengar keberadaan Jaemin di luar saja.
"Renjun, kau sudah nyaris satu jam di dalam sana."
Renjun tak menyahut, ia masih berpikir harus melakukan apa dan pergi kemana agar Jaemin berhenti mengikutinya.
"Aku benar-benar minta maaf Renjun." Suara Jaemin terdengar lebih rendah.
"Dengan kau terus mengikutiku, hanya membuatku semakin tak mau memaafkanmu." Renjun berdecih.
Hening beberapa saat, kemudian. "Tapi aku perlu berbicara denganmu."
"Katakan sekarang, dan segera pergi lalu jangan mengikutiku lagi." Renjun benar-benar benci melihat wajah Jaemin, melihat mata yang membuatnya mengingat bagaimana sakit hatinya ia karena kelakuan Jaemin.
"Renjun, berbicara denganku kumohon."
Karena lelah terus-terusan bersembunyi di ruangan lembab, Renjun akhirnya keluar bertepatan setelah Jaemin mengucapkan permohonan. Jaemin kira Renjun mau mengabulkannya, ternyata Renjun tak menatapnya barang sebentar pun dan langsung bergegas meninggalkan area kamar mandi.
"Renjun.." Jaemin pun dengan cepat mengejarnya.
"Ck, aku ingin pulang dan kau berhenti mengikutiku." Ujar Renjun sambil terus menghindari Jaemin.
"Tolong biarkan aku meminta maaf dengan benar, Renjun." Pinta Jaemin saat ia berhasil menghentikan langkah Renjun di tempat parkir.
Renjun menatap sinis pada Jaemin, ia bahkan dengan terang-terangan menatap Jaemin dari ujung kepala hingga kaki. Tak banyak yang berubah, hanya gurat wajahnya terlihat lebih dewasa dari tujuh tahun yang lalu.
Sosok Jaemin lebih tinggi darinya, hidung yang pas dengan wajah tampannya. Kemudian bibir tipisnya yang dulu begitu banyak memberi senyum untuknya. Senyum yang sampai membuat Renjun tak pernah berpikir kalau orang sehangat Jaemin bisa sebrengsek itu.
"Aku benar-benar minta maaf untuk apa yang aku lakukan padamu—
Renjun berdecak mendengar sepenggal kalimat dari Jaemin. "Ini bahkan tak membuat rasa benciku berkurang."
"Permintaan maafmu, tak membuatku sedikit saja merasa tenang. Aku tak merasa butuh kata maafmu."
"Jadi, ini adalah percuma." Tukas Renjun sebelum hendak kembali melanjutkan langkahnya.
Jaemin menahan Renjun, menghalangi langkah si mungil. "Tunggu."
Matanya menyorot teduh pada Renjun. "Alasan kau tak memaafkanku itu kenapa? Kau masih marah?"
"Tentu saja! Kau pikir siapa yang tak akan marah dengan hal itu?!" Bentak Renjun, ia bahkan sekarang merasakan emosi yang sama persis tujuh tahun yang lalu. Pertanyaan Jaemin membawa ingatannya pada hari itu.
"Kalau begitu kau lampiaskan marahnya padaku, jangan justru menghilang dariku."
"Apa?! Aku harus melampiaskannya padamu seperti apa?" Sinis Renjun.
Jaemin menelan salivanya, ia juga bingung cara agar Renjun mau memaafkannya itu seperti apa. Bagaimana agar amarah Renjun padanya menyurut dan hilang.
"Kenapa dulu kau tidak menamparku?" Akhirnya Jaemin bertanya soal kejadian tujuh tahun lalu, yang memang Renjun tak menamparnya atau memukulnya begitu mendapati sikap jahatnya.
"Kau mengharapkannya?" Tanya Renjun. "Baik, aku tampar sekarang dan kau berhenti mengikutiku."
Setelah itu tak ada peringatan lebih, Renjun langsung menampar Jaemin dengan keras membuat Jaemin meringis perih.
"Selesai." Renjun rasanya ingin sekalian menjambaknya, dan ia mengabulkan keinginannya sendiri. Menjambak Jaemin lalu melepasnya setelah cukup puas, dan berjalan meninggalkan Jaemin yang masih mengerang.
"Kenapa pulang begitu telat? Apa ada masalah di tempat kursus?" Mama Huang menyambut Renjun dengan pertanyaan khawatir.
Apalagi mengingat kepulangan putra sulungnya di suatu hari tujuh tahun yang lalu, meskipun anaknya tak mengatakan apapun tapi wajah kecewanya begitu membuatnya khawatir. Dan sekarang, ia setidaknya tak menemukan gurat itu di Renjun. Hanya wajah lelah saja yang terlihat.
"Tidak. Aku tadinya mencari beberapa barang dulu." Jawab Renjun, ia sedikit berbohong karena alasan ia mencari barang yang sebenarnya tak ia inginkan untuk mengecoh Jaemin yang benar-bebar mengikutinya terus. Renjun pikir Jaemin memang berbakat jadi manusia brengsek!
Ia tadinya mengira kalau setelah menampar dan kenjambak Jaemin, manusia sialan itu tak akan mengikutinya. Tapi ternyata tetap saja mengikuti langkahnya, sampai ia harus bersembunyi lebih lama dan baru lari lagi.
"Mana Ayden, ma?" Renjun celingukan karena tak melihat keberadaan sang adik.
"Tadi ada teman-temannya, mama suruh membereskan kamar karena berantakan." Jawab mama Huang yang tengah menyiapkan meja makan.
Renjun mengeluarkan sebuah kotak sepatu ke atas meja, kemudian beberapa buku musik dan partitur. "Ayden!" Panggil Renjun.
"Kenapa memanggil adikmu?" Tanya sang mama bingung.
"Ini untuk Ayden." Renjun menunjuk barang-barang yang ia letakkan di atas meja.
Mama Huang mengerutkan dahinya, ia pikir maksud Renjun mencari barang itu untuknya sendiri lagi pula ia tak mendengar Ayden merengek apapun pada Renjun.
"Bukan milikmu?" Mama Huang bertanya ulang sambil menatap barang yang Renjun beli di atas meja.
Renjun menggelengkan kepalanya, sejak tadi ia mengelilingi beberapa toko pun ia tak menemukan apa yang ia inginkan. Lagi pula fokusnya hanya menghindari Jaemin, dan saat melihat sepatu yang ia pikir bagus ia ambil padahal tak ia lihat ukurannya. "Aku sedang tak ingin sepatu, dan aku pikir Ayden menginginkannya."
Ayden turun dan bertanya pada Renjun. "Kenapa? Mama bilang makan malamnya masih lama karena menunggu ayah."
"Ini cukup tidak?" Renjun menunjuk kotak sepatunya, setelah itu Renjun berlalu menuju kamarnya.
"Ma, nanti panggil saja saat ayah sudah pulang." Ujar Renjun.
Sesampainya di kamar, Renjun menghela napasnya. Bertemu lagi dari Jaemin benar-benar tak ia pikirkan akan terjadi, hal yang ia temui hari ini di luar dugaannya. Membuatnya merasa lelah luar biasa, emosinya benar-benar di kembalikan seperti tujuh tahun lalu. Jaemin masih membuatnya marah bahkan setelah tujuh tahun berlalu tanpa melihat keberadaannya.
Dan kemarahannya, kekecewaannya tak hilang begitu saja bahkan setelah menampar Jaemin sekalipun.