Setelah pertemuan di restoran itu, Renjun kembali pada hari-hari dimana ia tak bertemu Jaemin. Sepertinya Jaemin benar-benar mendengar ucapannya untuk tak muncul di hadapannya lagi, tapi Renjun tak bisa berpikir kalau Jaemin benar tak akan pernah muncul di hadapannya lagi. Ia merasa kalau Jaemin hanya tengah mengambil persiapan untuk mulai merecokinya lagi.
Bukti kalau Jaemin tak sepenuhnya menuruti permintaan Renjun untuk tak berada di sekitarnya, adalah kiriman makanan yang masih juga datang padanya. Memang tempo hari Renjun sudah berbicara dengan Jaemin di restoran, kalau ia tak mau menerima lagi makanan yang dikirimkan Jaemin. Dan gantinya Jaemin malah mengirimnya makanan ringan atau juga dessert.
Terlihat jelas kalau Jaemin tak akan semudah itu menuruti maunya, dan akan mencari cara lain untuk menemuinya lagi. Entah kapanpun itu, Renjun harap kesadarannya masih utuh untuk berhadapan lagi dengan Jaemin nantinya. Semoga ingatannya tetap menyadarkannya soal bagaimana sosok Jaemin ini dulu padanya.
"Ayden! Demi tuhan, kau membuatku kesulitan." Renjun mencoba fokus menyetir dengan sang adik yang memeluknya dari samping, dan tangan yang mencengkram pinggang Renjun.
Posisi Ayden sangat tak nyaman, kakinya terluka parah karena terjatuh dari sepeda motor dengan temannya. Tubuhnya condong ke arah Renjun, untuk meminta pertolongan dari sang kakak soal lukanya yang nyeri.
Ayden tak mendengar seruan sang kakak, ia sibuk mengaduh sambil menangis. Sampai akhirnya mereka sampai di rumah sakit.
"Sebentar, aku panggil dulu seseorang untuk membawa kursi roda." Renjun mencoba melepas pelukan Ayden yang malah mengerat, enggan ditinggalkan.
"Ayden, ini tak akan lama." Renjun mencoba membujuknya.
Setelah Renjun membawa seorang perawat untuk membantu Ayden keluar dari mobil, ia mengikuti langkah perawat yang mendorong kursi roda Ayden sampai ia harus berhenti di meja administrasi. Tapi Ayden dari tadi terus memeluk lengannya.
"Aku harus mengurus dulu administrasinya." Renjun berusaha memberi pengertian pada sang adik yang masih menangis kesakitan.
"Nanti saja, kak." Ujar Ayden sambil menahan lengan Renjun dengan tatapan ketakutan, ia ingin ditemani sang kakak.
Renjun menatap Ayden. "Kau hanya tinggal diam, susternya akan membawamu bertemu dokter."
"Aku tidak mau sendirian." Ayden merengek tak mau pergi, membuat Renjun menghela napasnya. Adiknya ini sudah berumur enam belas tahun dan masih berani merengek di depan umum?
"Ayden, kau tidak akan hilang. Aku akan menemuimu nanti." Ujar Renjun, matanya kembali melihat luka sang adik.
"Ayden, kau bisa kehabisan darah kalau terus seperti ini." Renjun ngilu sendiri melihat Ayden yang merengek padanya dengan kondisi kaki berdarah-darah.
"Iya, temani aku." Pinta Ayden.
Renjun mencoba menahan rasa kesalnya pada sikap snag adik, padahal perawat tadi juga sudah ikut membujuk Ayden. "Kakimu hanya akan dijahit."
Mendengar hal itu, Ayden semakin merengut. Takut juga sakit, tanpa sadar tangannya mencengkram lengan sang kakak dengan keras.
"Ayden, demi Tuhan berhenti mencakar. Ini sakit." Ringis Renjun.
"Aku juga sakit!" Jerit Ayden. "Aku tak mau sendirian."
Renjun merasakan tangan Ayden semakin menarik lengannya. "Aduh, suster bawa saja."
"Kak!" Ayden menggeleng tak mau berpisah dengan sang kakak.
"Kakimu tak akan dipotong, Ayden." Renjun berusaha membuat Ayden mau untuk pergi sendirian, ia juga kalau ada sang ayah pasti akan menemani Ayden.