"Haechan, apa?" Mark bertanya bingung atas semua murka kekasihnya.
"Aku selama ini memiliki kekasih brengsek sepertimu?" Di benaknya kini hanya ada tali terhubung antara taruhan yang dibuat Jaemin dengan teman-temannya, dan ternyata Mark juga teman Jaemin.
Haechan saja sudah semarah dan sekecewa ini hanya dengan tau fakta kecil soal keterlibatan kekasihnya, apalagi Renjun yang mengalami dipermainkan oleh orang yang dicintai.
Mark mengerutkan dahinya, tadi ia mendengar soal kata taruhan. "Haechan, taruhan apa maksudmu?"
Apalagi tadi ia mendengar nama Renjun disebut-sebut, bukankah kekasihnya itu baru-baru ini mengatakan kalau Renjun dan Jaemin menjalin hubungan? Lalu maksud taruhannya, apa?
"Kau, Jaemin dan mereka membuat taruhan untuk mendapat Renjun kan?" Haechan mengacungkan pertanyaan tajam, dijawab gelengan kepala dari Mark sementara Jaemin dan tiga lelaki lainnya diam.
"Aku, tidak." Jawab Mark.
Haechan mendengus. "Pembohong."
"Kalau bukan dari kau, Jaemin tak akan tau tempat tinggal Renjun. Dan kau tau soal Renjun dari aku, sementara aku hanya memberitaumu. Lalu Jaemin tau dari mana kalau bukan dari kau, kak?!" Haechan sangat yakin sebelumnya Jaemin begitu buntu soal Renjun.
Mark menyugar rambutnya. "Aku hanya sempat menceritakan kalau aku berencana pindah kemari karena kau."
"Jaemin mungkin tak akan kemari, ia tadi bilang sedang sibuk."
"Akhir-akhir ini dia seperti itu."
Yang lainnya menjawab dengan sebuah gumaman, lalu salah satunya memilih mengalihkan pembicaraan dengan mencari topik baru.
"Mark, aku dengar kau tidak akan kembali ke Kanada setelah ini?" Tanya seorang pemuda dengan lengan kemeja digulung.
"Aku kembali, tapi untuk mengurus kepindahanku." Jawab Mark setelah menegak minumannya.
Pemuda dengan jaket denim menatap Mark. "Membeli rumah atau apartemen?"
"Tidak tau, aku akan mencari tempat yang tak terlalu jauh dari tempat kekasihku. Aku sengaja pindah kemari untuknya, tak mungkin aku tinggal terlalu jauh juga darinya. Itu terasa percuma." Ujar Mark.
"Memangnya dimana tempat tinggal kekasihmu? mungkin aku bisa membantu mencarikan juga kalau aku memiliki kenalan di daerah sana." Pemuda dengan setelah paling santai berbicara.
Lalu Mark menyebutkan daerah tempat Haechan tinggal.
Si jaket denim berujar. "Oh, disana? Kekasihmu tinggal dengan orangtuanya?"
"Sendiri, orangtuanya tinggal di sekitar sini. Alasan kepindahannya karena ingin dekat dengan teman dekatnya yang sudah lama pindah." Jawab Mark.
"Ngomong-ngomong, aku belum pernah tau kekasihmu." Ujar pemuda dengan pakaian santai.
"Haechan? Kalian benar belum tau?" Mark pikir teman-temannya akan tau Haechan mengingat mereka berada di tempat yang sama saat kuliah.
"Tunggu, Haechan?" Pemuda dengan lengan kemeja digulung tadi mengerutkan dahinya merasa kenal atas nama itu.
Mark mengangguk. "Ya, kalian kenal? Kalau tidak nanti aku kenalkan pada kalian saat ia mau."
"Temannya itu, Renjun?" Tanya si pemuda berkemeja itu lagi.
"Iya."
"Kami pernah satu sekolahan dulu."
Jaemin mendapat undangan makan di apartemen Mark, tadinya ia tak begitu berniat datang. Harinya terasa ikut hambar setelah berkali-kali mendapat penolakan lagi dari Renjun, Jaemin kembali kehilangan. Dan membuatnya begitu malas berbaur dengan yang lain karena fokusnya saat ini adalah mendapat maaf dari Renjun. Tapi ia ingat kalau ia perlu berbicara beberapa hal dengan teman-temannya, jadi ia akan memaksakan diri datang.
Acara memaksakan diri datang itu ternyata cukup mengejutkan bagi Haechan, anak itu terlihat terkejut begitu melihat keberadaannya. Dan yang membuatnya mengangkat halis adalah, ia disambut kemarahan Haechan yang baru tau ia dan kekasihnya berteman?
Setelah undangan makan itu jadi kacau karena berujung pertengkaran Mark dan Haechan, Jaemin memilih pulang. Ada satu yang Jaemin ingat dari ucapan Haechan tadi, bahwa Renjun banyak menangis karenanya.
Hal ini membuat Jaemin menghela napasnya, ia menyesali keputusan awalnya dulu karena berakhir dengan air mata Renjun. Jaemin tak tau harus apa agar Renjun mau memaafkannya disaat bertemu dengannya saja Renjun tak sudi.
Dua hari yang lalu saja kedatangannya dengan membawa maaf malah mendapat jawaban berupa bantingan barang pada pintu kamar. Dan setelah ia bertanya pada nyonya Huang lewat mamanya. Jaemin tau kalau ternyata Renjun membanting biolanya hari itu.
Maka dari itu setelah pulang dari apartemen Mark, Jaemin memutuskan untuk pergi ke toko alat musik untuk membeli biola untuk Renjun. Sebagai ganti yang kemarin dibantingnya. Karena Jaemin merasa bersalah, sebab alasan Renjun membantingnya pasti karena begitu marah padanya.
"Jaemin, besok mama akan mulai mengangkut barang-barangnya ke rumah mama." Mama Na berujar antusias begitu melihat kedatangan Jaemin.
Sementara Jaemin hanya mengangguk. "Iya."
Dahi sang mama berkerut. "Kau tidak mau melihat hasil akhir rumah mama? Itu benar-benar sudah selesai, mama akan mulai tinggal disana."
"Iya ma, nanti aku akan melihatnya." Jawab Jaemin, mana mungkin ia tak ingin melihatnya.
Ia juga penasaran apa hasil akhirnya sesuai kemauan sang mama, dan apa perkiraan Renjun tepat tentang tempat itu? Jaemin ingat betapa yakinnya Renjun tentang hal itu, juga antusiasnya ia saat tau mama Jaemin setuju akan pendapatnya. Mengingat kalau dulu Renjun yang membantunya menemukan dan memilih lahan itu, sekarang membuat Jaemin sedih karena hubungan mereka jadi sekacau ini.
"Kau sakit Jaemin?" Mama Na menyentuh dahi dan leher Jaemin untuk mengecek suhu tubuh anaknya yang ternyata normal.
Jaemin menggeleng pelan. "Tidak, aku hanya kelelahan."
"Kau barusan dari mana saja memangnya?" Nyonya Na bertanya khawatir, jika anaknya kelelahan maka besok ia akan melarang anaknya membantu pekerjaannya.
"Ke rumah Renjun, lalu ke apartemen Mark dan toko alat musik." Jawab Jaemin seadanya, mengenai tempat pertama Jaemin tetap tak mendapat apapun. Selama ia berdiri di depan pintu kamar Renjun, anak itu benar-benar tak tertarik untuk menemuinya bahkan untuk memberinya tamparan.
"Untuk apa kau ke toko alat musik?" Tanya sang mama, agak aneh karena tau kalau putranya tak begitu tertarik dengan alat musik.
"Membeli biola untuk Renjun." Biolanya Jaemin tinggal di mobil, agar besok ia tidak lupa membawanya.
Lalu Jaemin berjalan menuju kamarnya. "Aku akan istirahat, besok lagi saja kita bicara soal kepindahanmu, Ma."
Dan nyonya Na di belakang sana hanya menatap kepergian Jaemin dengan lama, seolah ada yang ikut ia pikirkan.