"Renjun kita makan di luar bagaimana?" Mama Huang menghampiri Renjun yang baru keluar dari kamar.
Beberapa hari ini Renjun mulai mau keluar dari kamar meski tak begitu sering, kemarin Renjun juga meliburkan kelas biolanya karena ia tak mungkin datang dengan suasana hati seburuk sekarang.
"Tidak, ma aku sedang malas keluar."
Nyonya Huang sebenarnya penasaran apa yang membuat putranya begitu murung, tapi ia juga tak berani bertanya. "Kau belum makan hari ini, jadi kita makan di luar saja ya?"
Biasanya mamanya memang mengajak anak-anaknya untuk makan diluar saat dilihat napsu makan mereka agak berkurang.
Meskipun Renjun sudah menolak ajakan sang mama, ia tak bisa bersikap masa bodo begitu saja karena mamanya terus menatapnya. "Iya, makan di luar. Tapi jangan minta diantar kemanapun setelah itu."
Mama Huang mengangguk senang atas keputusan akhir Renjun, lalu keduanya segera bersiap dengan Renjun yang mengikuti arahan mamanya. Hingga mereka sampai di sebuah restoran, dan tiba-tiba langkah Renjun terhenti begitu melewati pintu masuk.
"Nyonya Na ingin mengundangmu makan siang bersama sejak kemarin, tapi mama bilang tidak bisa karena kau terlihat masih begitu kacau kemarin."
Renjun menatap makanya, lalu apa sekarang setelah Renjun terlihat lebih baik mamanya justru membawanya menemui orang yang membuatnya kacau itu. Ya, Jaemin sudah duduk dengan nyonya Na yang kini menatapnya dengan mamanya.
Belum Renjun memprotes apapun, mamanya menarik tangannya agar segera duduk bergabung dengan nyonya Na dan Jaemin. Kedua wanita itu saling menyapa, kemudian mama Jaemin menatapnya.
"Renjun, bagaimana kabarmu?" Tanyanya ramah.
Renjun sadar kalau Jaemin sejak tadi menatapnya, tapi Renjun tak mau menatapnya balik. Renjun hanya bersikap seolah Jaemin tak ada disana.
Buruk. Renjun ingin mengatakan hal itu sebagai jawaban, tak tidak mungkin dan ia hanya mengulas senyum saja.
"Renjun rumahku sudah selesai, nanti berkunjung ya dengan mama mu." Dan lagi-lagi Renjun hanya membalasnya dengan senyum kecil.
"Aku sengaja mengajakmu untuk makan siang bersama, ada yang ingin aku sampaikan padamu." Ujar nyonya Na dengan senyum yang sekarang malah mengundang curiga bagi Renjun.
"Apa memangnya?" Tanya Renjun penasaran.
Nyonya Na menggelengkan kepalanya. "Nanti saja, sekarang makanlah terlebih dahulu. Setelah selesai baru kita berbicara."
Selama acara makan tersebut, Renjun benar-benar tak nyaman dengan tatapan Jaemin. Lebih tepatnya tak suka atas keberadaan dominan itu. Ditambah ia bertanya-tanya soal apa yang akan nyonya Na katakan padanya.
"Renjun, sebenarnya aku berniat menjodohkanmu dengan Jaemin. Mama mu juga setuju atas itu." Ternyata apa yang disampaikan nyonya Na, cukup membuatnya terkejut.
Mendengar ucapan mamanya, Jaemin seketika menatap mamanya tak percaya. Ia yakin kalau Renjun akan menolak keras usul mamanya, yang bahkan baru Jaemin dengar juga.
Sementara reflek Renjun adalah menatap Jaemin dengan matanya yang berkaca-kaca. Mana mau ia menikah dengan orang yang sudah dua kali memainkannya, tidak mungkin Renjun mau hidup bersama Jaemin. Renjun bahkan membencinya.
Menelan salivanya susah payah, Renjun menahan rasa ingin menangis karena rasanya takdir memang begitu senang membuatnya menderita. Seolah ingin terus-terusan mengikat Renjun dengan lukanya.
Nyonya Na terkejut melihat Renjun yang meneteskan air mata. "Renjun, kenapa menangis?"
Sekarang Jaemin beralih menatap Renjun yang ternyata memang tengah menangis sambil menatapnya.
"Maaf nyonya tapi aku tidak memiliki keinginan untuk menikah dengan siapapun." Tatapannya beralih pada nyonya Na, memohon lewat matanya agar perjodohan yang dimaksud segera dibatalkan.
Nyonya Huang tersentak mendengar ucapan Renjun. "Renjun, kenapa?"
Renjun hanya menoleh pada sang mama, kemudian segera beranjak dari tempat duduknya. "Karena makan siangnya sudah selesai, aku akan pulang lebih dulu." Ia memberikan kunci mobil pada sang mama, ia akan memilih pulang sendiri.
Jaemin yang merasakan dadanya sakit atas penyesalan yang dimilikinya, kini tengah dalam perjalanan menuju rumah Renjun setelah tadi kesulitan menjawab pertanyaan sang mama soal alasan Renjun menangis saat melihatnya.
Renjun terlihat benar-benar terluka, Jaemin mengingat ucapan Haechan tempo hari. Dimana Renjun tak berhenti mengeluarkan air mata, dan tadi Jaemin melihatnya sendiri. Renjun yang menangis tiba-tiba diantara wajah murungnya.
Kediaman keluarga Huang terlihat sepi, Jaemin jadi berpikir kalau kemungkinan Renjun belum pulang dan pergi ke suatu tempat terlebih dahulu. Tapi meski begitu Jaemin mencoba mengetuk pintu utama rumah itu.
Sampai pintu terbuka menampilkan Renjun yang wajahnya terlihat sembab, Jaemin menatapnya penuh rasa bersalah. "Renjun, maaf." Lirih Jaemin.
"Apa taruhannya memang sejauh itu?" Tanya Renjun setelah beberapa saat hanya menatap lelah pada sosok Jaemin yang ada di hadapannya.
"Sampai kau sekarang membawa-bawa mama untuk menjodohkan kita? Apa dalam taruhannya harus sampai menikah denganku, lalu tinggalkan saat aku mulai bergantung padamu? Begitu?" Suara Renjun benar-benar terdengar begitu lelah, ia sudah tak mau memiliki urusan apapun dengan manusia di depannya ini.
Jadi saat ia dipaksa harus berinteraksi pun, energinya seolah dikuras habis. Tubuhnya langsung lemah saat menatap wajah Jaemin, wajah dari orang yang mengecewakannya dua kali.
Jaemin menganga mendengar tuduhan Renjun. "Tidak Renjun, ini tak ada hubungan apapun dengan taruhannya."
Mengabaikan penyangkalan Jaemin, Renjun kembali bertanya. "Mau sampai kapan taruhan itu dilakukan? Aku harus apa agar taruhannya selesai?" Tanya Renjun putus asa, air matanya kembali menetes. Ia ingin segera lepas dari cekalan Jaemin. Ia ingin berhenti dipermainkan.
"Bukan Renjun, itu bukan taruhan. Aku bahkan tidak tau soal perjodohannya. Sungguh." Jaemin menatap Renjun.
Tak ada sahutan lagi dari Renjun, ia lama menangis di hadapan Jaemin. Lalu ia mengusap air matanya.
"Pulang." Ujar Renjun dingin.
Jaemin menahan pintu yang hendak Renjun tutup lagi. "Renjun sebentar."
"Ini untukmu." Jaemin menyodorkan bingkisan besar berisi biola baru untuk Renjun. "Aku harap kau mau memaafkanku lagi."
Renjun tak jadi menutup pintu, ia kini menatap kotak pemberian Jaemin. Tangannya menerima itu walau dengan wajah datar, tapi kemudian ia melepas pegangannya pada apa yang Jaemin berikan padanya itu.
Dan Jaemin menatap tak percaya atas apa yang Renjun perbuat.
"Itu yang kau lakukan padaku." Kata Renjun sambil menatap meremehkan pada pemberian Jaemin tadi.
Jaemin menatap Renjun yang kini tak segan menendang barang itu. "Tak menghargai pemberianku." Lanjut Renjun dengan suara pelan namun terdengar oleh Jaemin.
Renjun benar-benar merasa cinta yang ia berikan pada Jaemin tak dihargai sedikitpun, Jaemin benar-benar menyepelekan perasaannya. Seolah apa yang Renjun berikan adalah hal tak berguna.
_______
Update laginya besok ya?