Renjun tengah duduk sendirian menatap danau tenang di depannya, beberapa hari ini ia sedang menyukai tempat ini. Semenjak segala pikiran dan emosinya kacau karena Jaemin, Renjun benar-benar lebih banyak menghabiskan siang harinya disini. Dari pada di rumah yang hanya terus terdengar pembahasan soal perjodohan saja, sementara Renjun bahkan masih begitu bimbang untuk menerima perjodohan itu.
Mengenai pembatalan yang ia minta pada nyonya Na, nyonya Na menghubunginya dua hari yangnlalu dan mengatakan sekarang agar Renjun saja yang mempertimbangkan keinginannya. Karena nyonya Na percaya penuh atas penjelasan Jaemin soal taruhan yang menurut Jaemin tak ia maksud itu.
Renjun saat itu tak banyak berbicara dan hanya bergumam iya, sementara hatinya ingin mengatakan wajar sekali nyonya Na mudah percaya pada Jaemin karena ia putranya sendiri. Sementara Renjun adalah orang yang sudah pernah dibuat terluka, dan sangat sulit untuk menerima penjelasan Jaemin.
Tapi dengan seluruh raut meyakinkan yang Jaemin bawa, Renjun selalu nyaris jatuh lagi pada ucapan Jaemin. Seluruh kalimatnya terasa memang jujur dan bukanlah pembelaan diri semata.
Dering ponsel Renjun tak membuatnya mengalihkan tatapan dari pemandangan di depannya, karena ia sudah menduga siapa yang menghubunginya itu. Kalau bukan Jaemin pasti mamanya sendiri.
Tadi sebelum Renjun keluar dengan jadwal kursus, mamanya memintanya agar langsung pergi ke restoran Jaemin untuk makan malam bersama disana. Dan Renjun tak mau mengikuti makan malam itu, dengan keputusan yang belum ia miliki sampai saat ini.
Di satu sisi Renjun ingin membatalkan perjodohannya, tapi rasa cintanya pada Jaemin masih memberatkannya. Di sisi lainnya Renjun ingin menyetujui perjodohannya dengan orang yang ia cintai itu, tapi ia masih belum memiliki rasa percaya yang sama lagi pada Jaemin.
Saat petang menjelang Renjun baru beranjak dari tempatnya, menuju mobilnya untuk segera pergi dari sana. Tapi sekarang ia merasa dilema, haruskah ia pergi ke tempat dimana mamanya akan menunggu saat ini. Atau justru pulang ke rumah dan mengistirahatkan tubuhnya dari pada harus terlibat obrolan yang belum ingin Renjun bahas sampai saat ini.
Yang membuat Renjun malas pergi adalah kalau ia pasti akan bertemu Jaemin, padahal ia benar-benar sedang menghindari bertemu dominan itu sejak kejadian ia membentak-bentak Jaemin pagi itu. Melihat Jaemin hanya membuat pikirannya terasa begitu berat, Renjun tak bohong saat mengatakan ia frustasi akan perasaannya sendiri.
"Iya, aku akan datang nanti."
Renjun membalas pesan sang mama yang terus mengirim pesan soal harusnya Renjun datang malam ini.
Padahal Renjun sekarang belum berniat menyalakan mesin mobilnya, masa bodo nanti ia akan membuat alasan apapun kalau mamanya memprotes keterlambatannya.
Dan setelah memperkirakan waktu sekarang ia akan terlambat, barulah Renjun menjalankan mobilnya menuju restoran Jaemin. Bagaimana pun ia tak mau mendapat omelan karena tak datang, kalau ia menggunakan alasan terlambatannya mamanya mungkin akan sedikit memakluminya.
Renjun memarkirkan mobilnya diseberang jalan, menilik dari luar apa mamanya ada di dalam atau tidak. Renjun meraih ponselnya, tapi mendadak nomor mamanya tak bisa dihubungi begitupun ayahnya. Akhirnya Renjun memutuskan untuk keluar dari mobil, dan hendak menyebrang menuju restoran milik Jaemin itu.
Entah Renjun yang tak memperhatikan jalan dengan baik, entah pengendara motor itu yang salah. Renjun linglung karena tiba-tiba saja sudah jatuh dengan lengannya yang tergores aspal, dan kaki yang sakit karena terkilir.
Renjun meringis sambil mencoba berdiri dibantu beberapa orang yang menolongnya, tapi belum ia berdiri dengan benar seseorang meraih pinggangnya dan membuatnya berdiri dengan mudah karena tubuhnya yang sedikit terangkat olehnya. Itu Jaemin, yang kini menuntun langkahnya memasuki restoran miliknya dan mendudukannya di sudut ruangan yang dekat dengan ruangan pribadi Jaemin.
"Ambilkan kotak obatnya." Jaemin memerintahkan seseorang, selagi ia membersihkan lengannya yang terdapat debu di sekitaran lukanya.
Renjun menangkap jelas kepanikan Jaemin sejak tadi. "Apa dalam aturannya kau harus memastikan aku tak terluka? Kau sepanik itu."
Jaemin yang duduk di hadapan Renjun mendongak bingung. "Aturan apa?"
"Taruhan itu." Jawab Renjun.
Dan Jaemin memilih kembali mengurus luka Renjun, ia tak menyahut ucapan Renjun dan hanya mengobati luka Renjun walau dengan susah payah karena kekhawatirannya banyak mengambil alih.
Alasan Jaemin tak menjawab ucapan Renjun, ia merasa kalau ketulusannya tak dilihat sama sekali oleh Renjun, dan Jaemin cukup kecewa.
"Aku akan ambilkan makan malam untukmu, nyonya huang—
Seolah teringat, Renjun bertanya cepat. "Mamaku sudah pulang?"
"Beberapa saat yang lalu ia baru saja pulang, dan menyuruhku memastikan kau makan kalau sudah sampai." Jawab Jaemin.
"Ia juga bilang kau sedang harus diperbanyak makan sayur? Aku akan meminta pelayan menyiapkan sayur dan daging." Lanjut Jaemin, ia hendak memanggil pelayan saat Renjun menyentuh lengannya.
"Aku juga harus dipastikan tak sakit dalam aturannya?" Renjun menanyakan ini.
Jaemin menatap Renjun lama, ia lelah mendengar Renjun terus menyebut dirinya sendiri berada dalam sebuah taruhan. Dan terus menatap Jaemin sebagai orang brengsek yang menjadikan Renjun sebagai bahan taruhan, padahal Jaemin benar-benar mencintainya.
"Aku kurang tau jus apa yang baik untukmu, bisa kau katakan? Apa jus apel baik untuk penyembuhanmu?" Jaemin bertanya hal lain.
Dan setelah itu Renjun tak lagi berbicara, sebenarnya barusan ia tengah memastikan apa yang baru ia sadari.
Kalau Jaemin masih menjadikannya sebagai taruhan, semua sikapnya pada Renjun barusan terlalu berlebihan, perhatiannya bukan untuk sebuah kebohongan. Kekhawatirannya terlalu nyata untuk dijadiakan sebuah lelucon demi kemenangan taruhan.
Tak lama setelah Jaemin meminta pelayan membawakan menu makan Renjun, makanan itu tersaji di hadapan Renjun. Dan Jaemin segera meminta Renjun menikmati makanannya, walau dengan ada gurat sendu diwajahnya Jaemin tetap memperlakukan Renjun dengan baik.
Ia menunggui Renjun makan, ia juga sesekali menanyakan apa menunya sesuai dengan selera Renjun atau tidak. Jaemin juga membantu Renjun memotong dagingnya dengan ukuran kecil agar Renjun mudah menggigitnya. Dan setelah selesai, Jaemin tiba-tiba berujar.
"Iya, itu aturannya Renjun."
Renjun mendongak dengan hati yang mencelos mendengar itu, tangannya terkepal erat menahan sakit hatinya. Hendak memaki Jaemin, saat dominan itu kembali melanjutkan ucapannya.
"Itu aturan yang aku buat sendiri, untuk diriku sendiri tanpa melibatkan oranglain." Jaemin ingin kembali meyakinkan Renjun kalau apa yang ia lakukan pada Renjun saat ini bukanlah atas dasar taruhan, semuanya tulus untuk Renjun yang ia cintai.
Tatapan penuh amarah Renjun seketika melembut begitu mendengar kelanjutan ucapan Jaemin, ia bahkan mengerjap pelan.
"Memastikan kau tak terluka dan sakit, memastikan kau baik-baik saja saat denganku." Kata Jaemin sambil menatap Renjun lekat.
"Taruhanku dan teman-temanku sudah berakhir sejak tujuh tahun lalu, tak ada aturan apapun lagi yang berlaku untukku dalam memperlakukanmu. Sekarang aku hanya membuat aturannya sendiri, aturan untuk aku memperlakukan orang yang aku cintai dengan baik."
"Dan aturan terakhirnya aku harus membuatmu percaya lagi padaku, tapi itu bukan hal mudah. Dan akan sulit juga membuatku menang atas dirimu lagi." Tukas Jaemin.
Ada nada putus asa yang Renjun dengar dari kalimat terakhir yang Jaemin ucapkan.