Renjun menatap pantulan wajahnya di cermin, menurutnya penampilannya saat ini tak semengerikan itu. Mamanya tak akan mencurigai apapun kan?
"Iya, sebentar lagi. Kak Renjunnya mungkin masih istirahat." Suara Esther dari luar kamar terdengar, sepertinya ia sedang memberi pengertian pada sang adik.
Renjun berada di rumah Esther sejak semalam. Setelah kejadian ia mengatakan semua kekesalan dan kekecewaannya pada Jaemin, Renjun berjalan cepat dari sekitar rumah Jaemin. Sampai ia mendapati Esther yang hendak pulang, dan menghentikan mobilnya untuk menanyakan kondisi Renjun yang berjalan kaki malam-malam dengan isakan yang sesekali keluar.
Esther menawari tumpangan padanya, dan Renjun menerima tawaran itu karena ia juga tak mungkin berjalan kaki sejauh itu ke rumahnya. Sebelumnya ia nekat berjalan pergi dari rumah Jaemin, karena ia tidak sudi berada lebih lama di rumah itu. Ia juga tak mau menerima tumpangan lagi dari manusia itu.
Lalu setelah Renjun menaiki mobil Esther, ia hanya banyak diam. Mengingat ia banyak terisak sejak tadi yang membuatnya kesulitan berbicara, untungnya Esther tak memaksanya bercerita juga.
Sampai akhirnya Renjun meminta tolong padanya, ia tak mau pulang ke rumah dulu. Orangtuanya bisa khawatir melihat keadaannya, apalagi beberapa hari belakangan ia mengurung diri juga. Dan Esther tak keberatan atas hal itu, sepertinya keadaannya semalam begitu mengkhawatirkan sampai Esther kasihan padanya.
Pagi ini Renjun mendapati wajahnya dengan keadaan yang tak akan bisa ia sembunyikan. Matanya bengkak karena menangis semalaman. Jadi Renjun tak dulu pulang, sampai sekarang sudah nyaris sore barulah ia merasa harus pulang.
Tangan Renjun meraih pintu. "Kak Esther, aku akan pulang sore ini."
Esther yang berjalan hendak menuju ruang tv menoleh. "Apa sudah lebih baik?"
Renjun mengangguk, ia perlu pulang karena pasti mamanya mencarinya. Meskipun Renjun meminta izin, mamanya tetap selalu beraikap seolah Renjun barusaja hilang. Apalagi semalam Renjun tak menunggu terlebih dahulu balasan dari mamanya dan hanya langsung mematikan ponselnya.
"Kak Esther, terimakasih banyak." Renjun berujar tulus sambil berpamitan, Esther sempat menawarkan untuk mengantarnya tapi Renjun menolak dan mengatakan ingin pulang sendiri.
Begitu sampai di rumah, Renjun mencoba bersikap biasa saja. Ia tak mau banyak menunjukkan perubahan hanya karena seorang Na Jaemin, tapi begitu ia sampai di rumah. Mamanya malah menyambutnya dengan satu kalimat yang isinya terdapat nama manusia brengsek itu, membuat Renjun memejamkan matanya muak.
"Renjun, tadi ada Jaemin kemari dan meminta agar kau segera membalas pesannya."
Tak ada kecurigaan dari sang mama mengenai hubungannya dengan Jaemin, karena memang keluarganya belum ada yang tau soal hubungan mereka. Dan untungnya Renjun belum memberitau juga, karena rasanya akan sangat memalukan kalau oranglain dan keluarganya tau soal kebodohannya yang terus jatuh di lubang yang sama, oleh orang yang sama pula.
Dan itu juga akan semakin membuatnya terlihat menyedihkan dengan segala kenyataan yang ada, sudah cukup ia dijadikan bahan taruhan, tak dianggap cintanya oleh orang yang ia beri kasih sayang, tak dihargai semua ketulusannya, dan hanya dianggap bahan mainan saja.
Lalu apa ia juga harus menerima penyalahan atas langkahnya, yang Renjun pun menyesali itu. Ia menyesal memaafkan Jaemin kemarin-kemarin, ia menyesal membiarkan Jaemin kembali dekat dengan hidupnya, menyesal menerima semua sikap baiknya. Karena ujung dari semuanya masihlah sama, sebuah kecewa.
Keesokan harinya Renjun baru selesai membereskan peralatan makan bekas mereka sarapan, saat suara pintu rumahnya terdengar ada yang mengetuk dari luar. Renjun yang masih merasakan lemas karena energinya banyak terkuras setelah menangis diam-diam di kamarnya, kini berjalan lemah ke arah pintu hendak melihat siapa yang bertamu di pagi hari seperti ini. Bahkan Ayden saja belum berangkat sekolah.
Begitu pintu dibuka olehnya, raut Renjun langsung menunjukkan ketidaksukaan. Napasnya memburu, dengan segala rasa benci yang bercokol di dadanya.
"Renjun, maaf." Jaemin yang tak menyangka kalau kedatangannya akan disambut oleh Renjun sendiri, tanpa banyak membuang waktu langsung mengucapkan kata maaf.
Melihat tatapan memelas Jaemin, Renjun berdecih. Sekarang ia tak mau ditipu lagi oleh tatapan itu, ia tak mau dibodohi oleh suara yang seolah memang tulus meminta maaf padanya.
"Aku maafkan." Renjun tiba-tiba tersenyum lebar, seolah tak ada luka yang Jaemin torehkan sebelumnya.
Dalam beberapa detik senyum manis itu langsung lenyap, ganti tatapan tajam dengan wajah dinginnya. "Dan besok kau akan mulai merayuku lagi, kemudian kau akan menang taruhannya untuk ketiga kalinya? Apa begitu?" Tanya Renjun sarkas.
Jaemin menggelengkan kepalanya. "Tidak, Renjun. Aku sungguh meminta maaf untuk semuanya."
Emosi Renjun naik begitu mendengar ucapan itu, kemarin-kemarin pun Jaemin seperti ini. Tapi apa? Jaemin tetap mengulang kesalahannya.
"Pergi dari hadapanku, brengsek!" Jerit Renjun penuh emosi, lalu ia menutup pintu setelahnya. Menolak melihat wajah Jaemin lagi.