• 31. Nabastala Terlalu Aksa •

56 10 2
                                    

Now Playing
Lyodra-Pesan Terakhir

Selamat datang kembali dalam sebuah kisah yang lebih indah dari sebelumnya. Semoga suka.

"Sesunyi apa pun semesta meredam luka, dunia seisinya bahkan tahu bahwa sepi yang sebenarnya ketika tidak ada lagi tawamu yang mengudara, dan panjatan doa beserta rela telah sampai melampaui nabastala

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Sesunyi apa pun semesta meredam luka, dunia seisinya bahkan tahu bahwa sepi yang sebenarnya ketika tidak ada lagi tawamu yang mengudara, dan panjatan doa beserta rela telah sampai melampaui nabastala."
-Agmission-







Hari baru, bulan-bulan berlalu. Seorang gadis sedang berlarian di rumahnya sendiri. Saat ini, gadis itu sudah memasuki kelas dua belas, sebentar lagi les pagi akan dimulai.

"Mita, sarapan dikit dulu!" Ibu berteriak lantang sembari mengemas roti bolu pada sebuah wadah balok panjang.

Mita datang tergesa-gesa. Gadis itu menggerai rambutnya, tidak lagi mengucir rambut hitam legamnya. "Bu, Mita pamit dulu, ya." Gadis itu menunduk dan mencium ounggung tangan Ibu.

"Nggak sarapan?" Ibu bertanya dan hanya disambut senyum tipis oleh Mita.

"Udah, kok. Ibu yang jangan lupa sarapan. Mita berangkat dulu, ya, Bu!" Gadis itu mengambil kotak bolu untuk dititipkan ke warung.

Ibu menahan Mita. Gadis yang ditahan mengernyit bingung. Ternyata, Ibu hanya lupa memberi kecupan pada anak gadisnya. "Semangat sekolahnya, ya!"

Mita mengangguk. "Siap!" Gadis itu beranjak pergi, meninggalkan Ibu sendiri di rumah. Pagi yang dingin membuat angin menghunus kulit. Matahari pelan-pelan mengintip dan membiarkan sinarnya menembus kulit. Mita merekahkan senyumnya secerah mentari itu, mengayuh sepeda dengan penuh semangat.

Satu tahun lebih tiga bulan sudah dilalui Mita setelah kepergian Agil. Walaupun menyisakan sedikit perasaan yang perih, tetapi Mita selalu berusaha tetap tersenyum. Gadis itu menjadi riang bukan semata untuk Agil, tetapi untuk dirinya sendiri. Agil mengajarkannya kehidupan bahwa semua yang ada di dunia ini akan memiliki masa masing-masing.

Di jalan, Mita bertemu Ayah yang sedang mengemudikan angkut. Mita melambai dan mdlemparkan senyuman yang dibalas oleh lelaki itu. Mita terus melajukan sepedanya. Katihan yang lambat-cepat itu menimblukan keriut yang menjadi iringan perjalanan. Mita hanya menarik napasnya dalam, membiarkan udara sejuk mengisi paru-parunya.

Sampai di sekolah, sapaan tiada henti mengiringi langkahnya.

Lena menghampiri Mita. "Hei, Mit! Lo udah kerjain tugas kemarin?"

Mita mengangguk. "Mau liat? Liat aja."

Lena memeluk Mita. "Lo perhatian banget, sih, Beb! Makasi!"

Agmission Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang