Chapter 3

387 17 0
                                    

Sekelebat angin riuh menerpa hangatnya senja kala itu. Mengusik dedaunan yang telah gugur digerus oleh musim. Tak ada pilihan lain untuk hidup selain dari mengikuti arus, atau mati dibawa arus. Begitulah takdir, kata mereka.

Suara langkah kaki mendekat. Menampakkan sosok wanita berkacamata bulat dengan wajah yang mungil sedang berjalan menghampiri posisiku. Kemeja loose-fit tosca yang dipadu dengan celana jeans biru memancarkan sebuah pesona elegan dari sosoknya. Bahkan tanpa pernak-pernik dan sentuhan make-up yang berlebih, dia telah memancarkan kesan yang berkelas. Sosok wanita yang kumaksud itu adalah Riska.

"Mau omongin apa, Kak?" tanyaku bingung.

"Kamu lagi butuh kerjaan, Ram?"

Aku cukup kaget, tak menyangka informasi telah menyebar secepat itu. "Tahu dari mana, Kak?"

"Dari Steven," jawab Riska. "Aku ada lowongan nih, di restoran punya bokap."

"Duh, aku gak mau ngerepotin, Kak," balasku enggan.

Riska menggelengkan kepala. "Kita emang lagi butuh karyawan, Ram. Soalnya ada beberapa karyawan yang resign."

"Tapi ini beneran gak bakal nyusahin kakak, kan?" tanyaku memastikan.

Riska menghela nafasnya. "Sekalipun nyusahin, bakal tetep aku bantu kok, Ram."

"Ga perlu sungkan-sungkan, deh. Kayak orang baru kenal aja," ucap Riska sembari menyikut pelan tubuhku.

Aku hanya bisa menggaruk rambutku yang sebenarnya tak gatal, karena merasa canggung dan tak enak. Muncul perasaan ingin menolak di batinku, namun mulutku tak bisa menolak, karena saat ini aku memang membutuhkannya.

"Omong-omong, posisi kerjanya apa ya, Kak?" tanyaku penasaran.

"Setauku, pelayan atau penerima tamu sih, Ram. Nanti detailnya bakal dijelasin sama manager," jelas Riska.

"By the way, kapan kamu siap masuk kerjanya, Ram?"

Aku berpikir sejenak. "Hmmm ... kalau bisa sih secepatnya, Kak."

Belum sempat Riska menanggapi, tiba-tiba ponsel di kantong celanaku bergetar. Aku segera menariknya dan melihat tulisan Ibu muncul di layar. Sejenak aku menatap Riska, dan dia pun meresponku dengan anggukan kecil sebagai persetujuan. Aku pun menerima panggilan itu dan mendekatkan ponsel ke telingaku.

"Ada apa, Ma?" tanyaku dengan suara pelan.

Ada jeda beberapa detik, sebelum Ibu membalas.

"Nak ... pulang," ucap ibu dengan suara yang serak.

Aku merasa ada yang tidak beres dari suara Ibu. Suara serak Ibu yang kudengar terkesan seperti orang yang sudah lelah untuk menangis.

"Kenapa, Ma?" tanyaku dengan perasaan was-was.

"Bapak masuk rumah sakit."

<><><>

Lorong dingin itu berhasil membangkitkan kenangan buruk di benakku. Kenangan yang sudah kucoba untuk menguburnya dalam-dalam. Trauma itu muncul dalam bentuk kucuran keringat yang membasahi seluruh tubuhku, hasil dari jantung yang terpacu akibat lari terburu-buru.

Tampak seorang perempuan yang duduk di seberang pintu. Wajahnya pucat, matanya sembab dan membengkak. Dia menoleh ke arahku dan seketika bibirnya bergetar menahan tangis.

Tak perlu berkata-kata, kupeluk tubuhnya dengan erat. Berharap secercah ketenangan muncul di batinnya. Tapi nyatanya aku cuma manusia lemah, yang juga tak bisa menahan kesedihanku. Air mata pun jatuh menetes hingga mengalir deras di luar kendaliku.

AMURTITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang