Chapter 14

406 16 0
                                    

Gemerlap bintang nan indah kian menghiasi langit di angkasa. Sang rembulan tak mau kalah, ia pun mulai menghamburkan sinarnya, mencoba untuk menyingkirkan perangkap kegelapan. Namun sang kegelapan protes, jika dirinya menghilang, maka eksistensi cahaya tak akan begitu berarti lagi.

Eksistensi mereka lantas akan menjadi hambar. Mereka tak lagi menjadi sesuatu yang didambakan. Namun di sisi yang lain, sang kegelapan juga tak merasa takut, sebab dia menyadari bahwa sejatinya, cahaya yang paling terang lantas memiliki bayangan yang paling gelap.

<><><>

Sosok Ruksapati berhasil menangkap tubuhku. Dia kian tertawa akan usahaku untuk melepaskan diri dari genggamannya. Tatapan matanya bagai melihat seekor anak ayam yang tak bisa berkutik lagi.

"Jangan salahkan aku," ucap Ruksapati. "Salahkan pria itu, sebab dia telah mengkhianatimu."

Setelah mengatakan itu, genggaman Ruksapati menjadi semakin menguat. Rasa sakit yang muncul berhasil membuatku berteriak. Sekujur tubuhku rasanya telah remuk atas tekanan genggaman yang berulang-ulang kali dilakukan Ruksapati.

Dia pun tertawa terbahak-bahak melihat responku yang tak bisa menahan rasa sakit. Diikuti dengan suara cekikikan Minara yang tampaknya telah bangkit kembali.

"Berikan anak itu padaku!" ucap Minara.

Ruksapati menuruti perkataannya dan mengulurkan genggaman tangannya mendekati posisi Minara. Minara pun tersenyum sembari menatapku dengan tatapan penuh dendam.

Minara berdiri tepat di depan mataku. "Bocah sialan! Saatnya kau merasakan sakit yang tak akan pernah bisa kau lupakan."

Sembari tersenyum, Minara mulai mengarahkan ujung kukunya yang runcing menuju daguku. Dia lalu perlahan menusukkan kukunya ke dalam. Tak berhenti di situ saja, dia lalu menarik gores panjang dari daguku, menurun ke leher hingga pada akhirnya berhenti di tengah dadaku.

Dia sengaja melakukannya secara perlahan, karena ingin menikmati ekspresi kesakitan dari wajahku. Sementara itu, aku tak bisa melakukan perlawanan apa pun. Aku hanya bisa menerima rasa sakit layaknya ditusuk-tusuk oleh pisau.

Minara lalu menghujamku dengan kukunya berkali-kali, layaknya sedang menekan tombol angka di lift. Bermula dari satu jari, perlahan bertambah menjadi dua, dan lama-kelamaan menggunakan lima. Dia mencabik-cabikku tanpa memberikanku jeda untuk bernafas. Rasa sakit itu kian menumpuk hingga meninggalkan sebuah trauma.

"Lepaskan aku! Aku akan membantu kalian melawan pria itu," ucapku berusaha untuk bernegosiasi.

"HAHAHA!" Suara tawa menggelegar dari Ruksapati seketika menghantam pendengaranku.

Minara lalu membalas ucapanku, "Justru pria itu telah berjanji untuk melepaskan kami, jika berhasil membunuhmu!"

Mendengar perkataannya lantas membuat secercah harapan di batinku musnah. Perlawanan tak lagi kulancarkan. Kekecawaan lagi-lagi datang menghampiriku. Aku tak menyangka, bahwa aku kembali dikhianati untuk ke sekian kalinya. Rasa putus asa pun kian menjalar pada setiap sudut ruang di batinku.

"Bunuh saja aku!" ucapku pasrah.

Minara pun kembali tertawa cekikikan lalu berkata, "Kami akan mengabulkannya setelah puas menyiksamu."

Sesuai perkataannya, Minara lalu melanjutkan aksinya dengan menggores-goreskan semua kukunya di sekujur tubuhku. Rasa sakit itu kian nyata, tak seperti rasa sakit di dalam mimpi yang akan menghilang setelah kita terbangun. Rasa seperti dikoyak-koyak terasa di setiap titik tubuhku. Sialnya aku tak bisa pingsan, berharap agar penderitaan ini bisa cepat berlalu.

AMURTITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang