Melihat sosoknya yang tiba-tiba muncul di depan mataku membuatku refleks melayangkan pukulan ke arah wajahnya. Namun pukulan itu hanya mengenai angin, sebab sosoknya telah lenyap bagaikan asap.
"Huahahahaha."
Tawa itu muncul bersamaan dengan sebuah sentuhan di bagian tengkukku. Belum sempat aku berbalik badan, keseimbanganku telah roboh terlebih dahulu. Tubuhku seketika diseret paksa hingga melewati pembatas rooftop apartemen. Tanpa bisa melakukan perlawanan, aku lantas terjatuh dari rooftop apartemen itu sembari menatap kaca jendela yang terlihat semakin lama semakin menjauh.
Hingga pada akhirnya tubuhku berhenti di udara, hanya berjarak sejengkal dari tanah. Pria tua itu lalu menghempaskanku ke sebuah pohon besar yang berada di tengah-tengah taman. Ujung dari tongkat berkepala naga miliknya kini menyentuh dadaku.
Aku mencoba bergerak namun tubuhku telah mati rasa. Aku hanya bisa mengumpat dalam hati atas ketidakberdayaan diriku sendiri. Di sisi lain, pria tua itu menatapku sejenak lalu mengucapkan sesuatu yang tak pernah terlintas di pikiranku.
"Bagaimana kalau jadi penerusku?" tawarnya dengan suara yang manis.
"Kalau aku menolak?" tanyaku mencoba untuk memancing sifat aslinya keluar.
Tongkatnya lantas mengangkat daguku hingga kepalaku mendongak menatap pohon dengan daun hijau yang lebat. Dengan suara halus layaknya suara wanita, pria itu lantas berkata, "Tumbal yang selama ini berjatuhan di tanganku, sama dengan jumlah daun yang menempel pada pohon itu."
"Jadi, apa dirimu bersedia menjadi sehelai daun di pohon itu?" ancamnya dengan suara halus.
Batinku seketika bergejolak. Aku sadar akan posisiku yang sudah di ujung maut. Namun aku yakin bahwa ada resiko besar dari tawaran dari pria itu. Jika aku memilih untuk hidup, aku lantas harus melumuri tanganku dengan lebih banyak darah lagi. Sebaliknya, jika aku memilih untuk mati, akankah nasibku sama dengan arwah gentayangan yang selalu tersiksa?
Sosok pria tua itu seperti bisa mengetahui apa yang ada di benakku, dia lantas berkata, "Semua yang ada di dunia ini ada harganya. Kalau kamu ingin memiliki sesuatu yang lebih dari orang lain, maka kamu harus siap untuk mengorbankan sesuatu pula. Oleh sebab itu, aku akan menjamin harta, tahta dan wanita di hidupmu, asalkan kamu rela tunduk padaku."
Senyuman muncul di bibirku, sebab aku mengerti apa arti tunduk yang dimaksudnya. Artinya aku harus menjadi pengikut setianya, menuruti setiap perintahnya, atau secara tidak langsung, aku harus rela mengorbankan nyawaku untuk dirinya, bagai seorang budak.
"Sepertinya dengan ini kau bisa lebih cepat menentukan pilihanmu." Pria tua itu lalu mengarahkan salah satu tangannya ke samping. Tiba-tiba muncul sebuah portal merah, bersamaan dengan sosok Lala yang diam mematung. Tangan dari pria tua itu bagaikan magnet yang menarik sosok Lala ke dalam cengkeramannya.
"Bagaimana sekarang?" tanya sosok itu sembari menatapku dengan senyuman lebar di mulutnya.
Tanpa berpikir panjang aku langsung menjawabnya dengan cepat. "Aku menyerah. Lepaskan dia sekarang juga."
Baru saja tangannya terlepas dari leher Lala, hantaman angin riuh langsung menerpa sosok pria tua itu. Dia mundur beberapa langkah sembari tertawa terbahak-bahak. Sementara itu, dari pusaran angin bagaikan puting beliung, samar-samar muncul sosok Mahendra. Di tangannya tampak batu merah yang memancarkan sinar ke segala arah.
Aku pun menyadari bahwa Mahendra berhasil menjalankan misinya. Sudah saatnya kami melarikan diri dari tempat ini. Namun baru saja pikiran itu terbesit di benakku, aku seketika tertegun saat menatap sosok pria tua tersebut. Lantaran di telapak tangannya telah muncul batu merah yang juga memancarkan sinar yang menyilaukan mata.
KAMU SEDANG MEMBACA
AMURTI
ParanormalSequel dari Awakening : Sixth Sense Di saat Rama telah pulih kembali dari kecelakaan yang menimpanya, semesta seakan belum puas untuk menguji dirinya. Masalah yang baru satu-persatu menghampiri dan menghantamnya secara bertubi-tubi. Menimbulkan kere...