Chapter 8

313 11 0
                                    

Senja dan sunyi berpadu menjadi satu pada hari itu. Di hadapanku tampak gerbang hitam yang menjulang tinggi dengan ukuran berkisar tiga meter. Tanaman hias berwarna hijau yang menempel di sepanjang pagar berhasil menghalangi pandanganku hingga tak bisa menembus ke dalam.

Belum sempat aku menghubungi Mahendra, tiba-tiba gerbang di depanku bergeser. Seorang pria paruh baya mengenakan kaos biru dengan celana selutut menyambutku dengan sebuah senyuman ramah.

"Mas Rama, ya?"

"Iya, Pak." jawabku bingung, sebab aku penasaran, kenapa dia bisa tahu bahwa aku sudah sampai.

Seakan bisa membaca pikiranku, dia berkata, "Saya lihat dari CCTV, Mas."

Mataku refleks mencari lokasi CCTV itu berada dan menemukannya tertempel di sudut pagar. Ukurannya yang cukup kecil dan posisinya yang terletak pada ketinggian membuatnya sulit untuk dideteksi mata.

"Silakan masuk, Mas," ucapnya sembari mengulurkan tangannya ke belakang. "Motornya biar saya yang masukin."

Aku mengangguk dan perlahan melangkah memasuki gerbang. Baru saja masuk, mataku langsung terkesima oleh rumah megah yang terpampang di hadapanku. Bukan karena hanya besarnya ukuran rumahnya saja, tetapi karena luasnya ukuran pekarangan dan taman di sekelilingnya. Mungkin cukup luas untuk melakukan upacara bagi satu sekolah.

Selesai memarkirkan motorku, pria itu lantas berjalan di depanku, mengantarkanku masuk ke dalam rumah. Aku mengikutinya dari belakang, berjalan melewati banyaknya lukisan klasik yang menempel pada dinding.

Uniknya, semua lukisan itu hanya berisikan wujud hewan dan manusia. Tak ada satu pun objek mati di dalam semua lukisan itu. Sesaat kemudian, kami akhirnya melewati lorong itu dan sampai pada ruang tengah berada.

Ruang yang begitu luas seketika terpampang di pandanganku. Satu set sofa lengkap dengan televisi dan perabotan telah tersusun rapi di sebelah kanan ruangan. Di sebelah kiri, terdapat ruang makan yang berisikan meja dan kursi antik. Tak ada dapur di sana, hanya sebuah kulkas dan rak besar yang menempel di dinding.

Dari pembatas kaca yang transparan, di bagian belakang, aku melihat sebuah kolam renang tanpa atap. Satu hal yang paling menyita perhatianku adalah sebuah gubuk yang sepertinya full terbuat dari kayu jati. Anehnya, gubuk itu tampak menyendiri di lapangan yang lempang. Mungkin tempat itu tak pantas disebut gubuk karena kemewahannya.

Tiba-tiba pintu terbuka dan dari baliknya muncul sesosok pria paruh baya dengan rambut yang gondrong. Dengan gerakan tangan yang elegan layaknya seorang pesulap, dia mempersilakanku duduk di sofa. Pria paruh baya di sampingku pun sekilas tampak menahan tawa. Dengan canggung, aku pun duduk di sofa berhadap-hadapan dengan pria gondrong itu, pria yang bernama Mahendra.

"Kamu udah siap buat malam ini, kan?"

Aku menghela nafas dengan pelan lalu mengangguk tegas seraya mengumpulkan kepercayaan diri.

"Tas kamu kasih ke Pak Kusno aja."

Pria paruh baya yang bernama Kusno itu pun dengan sigap menerima tasku. Tanpa perintah dari Mahendra, Pak Kusno langsung pergi meninggalkan kami berdua di ruang tengah.

"Nanti kamu semedi di sana." Mahendra menunjuk ke arah gubuk yang berada di belakang.

"Kamu masih ingat pantangannya, kan?"

"Gak boleh keluar sampai jam tujuh pagi kan, Pak?" tanyaku memastikan.

Mahendra mengangguk. "Kamu aman selama ada di dalam."

"Tapi kalau kamu keluar di tengah-tengah, saya gak bisa jamin nyawa kamu."

Terbesit firasat buruk di benakku. Aku merasa ini bukan hanya semacam latihan biasa. Dibalik embel-embel puasa mutih dan bersemedi, aku merasa ada sesuatu yang disembunyikan olehnya.

AMURTITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang