Berbagai ragam jenis emosi kian muncul menghantuiku. Suara-suara penuh kemurkaan lantas terngiang-ngiang di pikiranku. Aneka kesedihan beserta penyesalan seolah merasuk ke dalam jiwa. Rentetan akumulasi emosi negatif seakan mencoba untuk menunjukkanku atas kenangan mereka. Menarikku dengan paksa, hingga jatuh tenggelam ke dasar kegelapan.
"Amurti!"
Bisikan itu seketika menarikku dari pangkuan kegelapan. Mengembalikan kesadaranku, bahwa saat itu ada lawan yang harus kuhadapi. Pandanganku kini menjadi jernih, aku kembali menatap sosok raut wajah Artuka yang tampak kaget seakan tak percaya bahwa serangannya digagalkan.
Namun Artuka tampaknya belum ingin menyerah, dia lantas merentangkan keenam tangannya lebar-lebar. Dari keenam tangannya itu, muncul energi merah seukuran bola basket yang seolah mengeluarkan percikan listrik.
Tanpa basa-basi, Artuka melemparkan bola-bola energi itu ke arahku secara bertubi-tubi. Naasnya, serangan demi serangan yang diluncurkannya tak berarti apa-apa bagiku. Semua serangan yang diluncurkannya bagai terserap oleh pusaran energi gelap yang tak berdasar.
Raut wajah Artuka lantas menjadi panik, gelagatnya menunjukkan bahwa dia ingin melarikan diri saat itu juga. Oleh sebab itu, aku langsung mengerahkan api hitam untuk mengikat tubuhnya. Sama seperti apa yang terjadi dengan Minara, dia terbelenggu oleh api hitam yang bergerak bagai bayangan.
Tubuhnya yang melayang kini telah terkunci di udara. Walau sosok Artuka mencoba untuk melakukan perlawanan, api hitam itu tetap tak bergeming sedikitpun, bagaikan sebuah rantai yang kokoh.
Aku mulai bergerak menghampiri posisinya. Dalam sekejap mata, tubuhku melayang dan mendarat tepat di hadapannya. Artuka seketika menjadi kikuk, dia lantas menghentikan usahanya untuk melepaskan diri. Perangainya menunjukkan kegelisahan.
Dengan nada suara yang gugup, Artuka berkata, "Tunggu sebentar, mari kita bicara dulu."
"Bicaralah," balasku datar.
"Aku akan tunduk menjadi pengabdimu," ucap Artuka dengan memelas. "Jadi, tolong lepaskan aku."
"Itu saja?" Permintaan itu sudah bisa kutebak. Aku sudah bosan bertemu makhluk-makhluk dengan sifat sepertinya. Makhluk yang tak ragu untuk menjilat ludahnya sendiri jika posisinya sudah terpojokkan.
Melihat responku yang datar membuat Artuka panik dan berusaha untuk meyakinkanku. "Aku berjanji tak akan mengecewakanmu. Aku akan menuruti semua permintaanmu. Apa pun akan kuberikan untuk memuaskan keinginanmu."
Janji-janji manis mulai dilontarkannya. Berharap agar aku luluh dan mengubah pikiranku. "Kalau begitu aku punya satu permintaan."
"Apa itu?" tanya Artuka dengan penuh harap.
Aku pun berniat untuk mempermainkan makhluk yang ada di hadapanku. Ingin melihat reaksi hebohnya akan memakiku dalam hitungan detik.
"Cabut nyawamu sendiri, sekarang juga."
Tak sesuai ekspektasiku, Artuka lantas menjawabku dengan datar tanpa tersulut emosi. "Baiklah jika itu keinginanmu."
Tak sampai di situ saja, dia lalu lanjut berkata, "Namun, tolong lepaskan ikatan ini dulu, agar aku bisa melakukannya."
Aku lantas tak bisa menahan senyumku saat melihat raut wajah dari Artuka yang sedang berlagak jinak dan setia. Lantaran penasaran, aku pun mengabulkan permintaannya. Api hitam yang membelenggu tubuhnya langsung kutarik balik ke tubuhku.
Kutatap sosok Artuka yang telah bebas lalu berkata, "Ayo lakukan."
Artuka mengangguk lalu muncul gumpalan energi di keenam tangannya yang sesaat kemudian berubah menjadi pedang emas. Keenam-enam pedang itu lalu perlahan diarahkannya di dekat lehernya.
KAMU SEDANG MEMBACA
AMURTI
ParanormalSequel dari Awakening : Sixth Sense Di saat Rama telah pulih kembali dari kecelakaan yang menimpanya, semesta seakan belum puas untuk menguji dirinya. Masalah yang baru satu-persatu menghampiri dan menghantamnya secara bertubi-tubi. Menimbulkan kere...