Chapter 5

332 11 0
                                    

Hari demi hari berlalu, minggu demi minggu berganti, hingga bulan demi bulan terlewatkan. Tak kusangka rutinitasku selama ini seakan berhasil mengelabui waktu. Tak terasa sudah tiga bulan aku bekerja di restoran ini.

Semenjak melayani pertemuan antar keluarga Riska dan Viktor, aku resmi diangkat menjadi waiter di restoran itu. Sifatku yang introvert awalnya membuatku sulit untuk ramah dengan orang asing. Ada pepatah yang mengatakan, alah bisa karena biasa. Karena sudah terbiasa berjumpa dengan orang asing setiap harinya, aku pun perlahan bisa menyesuaikan dan membuka diri.

Hubunganku dengan karyawan lain pun kian membaik. Rasa tak nyaman yang kurasakan semenjak dulu telah berubah menjadi sebuah semangat. Tampaknya aku mulai bisa menikmati pekerjaan ini.

Di sisi lain, Viktor sudah jarang menegurku. Sejak pertemuan antara keluarganya dengan Riska, raut wajahnya selalu seperti tampak banyak pikiran. Di dalam hati aku berdoa, semoga dia tetap seperti itu saja, agar aku bisa bekerja dengan plong dan tanpa distraksi.

Gelapnya malam lantas tak mengurangi beratnya beban pekerjaan para karyawan di restoran. Malam itu, semua karyawan terpaksa menjalani kerja lembur, sebab harus menjamu tamu khusus yang tiba-tiba hadir. Walau para karyawan merasa jengkel, mereka tak memiliki nyali untuk mengungkapkannya, sebab para tamu itu adalah rombongan pejabat-pejabat elit yang bersemayam di negeri ini.

Aku panik karena aku sudah berjanji untuk menjemput Melissa malam ini. Tanpa berpikir panjang, kukirim sebuah pesan singkat ke nomor whatsapp Steven.

"Tolong jemput Melissa sekarang dong, Ven. Gua lagi lembur, nih."

Tak lupa aku melantunkan sebuah missed call di ponselnya, berharap agar dia memperhatikan notifikasi yang muncul. Belum sempat aku memastikan persetujuan Steven, terdengar panggilan urgent dari arah dapur. Aku pun segera memasukkan ponselku ke dalam loker dan kembali bekerja.

"Antar ke private room nomor tiga," perintah seniorku yang sedang sibuk mengecek hidangan.

Kalutnya malam itu membuatku tak sempat untuk mengecek ponsel. Aku sibuk mengantar hidangan demi hidangan serta melayani permintaan para tamu. Hingga pada saat mereka pulang, ternyata kami sudah bekerja lembur lebih dari dua jam. Samar-samar terdengar beberapa karyawan yang mengumpat karena harus pulang di waktu dini hari.

Saat membuka loker, aku terkejut melihat notifikasi yang telah memenuhi layar ponselku. Notifikasi itu berisikan puluhan missed call dari Steven. Selain itu, ada sebuah pesan singkat darinya yang berisikan ....

"CEPET BALIK!"

<><><>

Sesampainya di kos, aku segera memarkirkan motorku dengan buru-buru. Setelahnya, aku langsung bergegas berlari menuju kamar Steven. Saat posisiku sudah dekat, sekilas terdengar isak tangis seorang wanita dari dalam kamarnya. Jantungku berdebar semakin kencang dan kuberanikan diriku untuk melirik ke dalam.

Di dalam kamar Steven, tampak seorang wanita sedang duduk di pinggir kasur sembari menunduk dan mengusap air matanya. Wanita yang kupandang itu adalah Melissa. Aku menatap Steven dengan raut wajah bingung, seakan bertanya apa sebenarnya yang terjadi. Steven menghela nafasnya sembari memasang ekspresi menahan emosi.

"Melissa kena jambret," ucap Steven datar.

Bagai ada petir yang menyambar, aku kaget seketika. Yang pertama kali muncul di pikiranku saat itu adalah, ini pasti terjadi karena kelalaianku.

"Lo gak ada luka apa-apa kan, Mel?" tanyaku panik sembari berlutut mengecek apa ada luka di sekujur tubuhnya.

Melissa cuma bergeleng, masih dalam keadaan tangis sesenggukan.

AMURTITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang