Malam demi malam berlalu tanpa bisa kunikmati. Hampir sepanjang waktu aku berdiri di depan wastafel, membilas piring-piring kotor yang tak kunjung habis. Tak ada jeda sedikit pun, bahkan setelah piring bersih menumpuk, aku harus bergerak mondar-mandir untuk meletakkan pada tempatnya.
Badanku seakan terprogram untuk bergerak lebih cepat daripada otakku. Membuatku tersadar, bahwa pekerjaan simple seperti mencuci piring ternyata tak pantas dipandang dengan sebelah mata.
Gemuruh petir bersamaan dengan jatuhnya rintik hujan mengiringi sibuknya pekerjaan malam itu. Cuaca yang tak mendukung tampaknya tak berefek pada banyaknya jumlah tamu yang berkunjung ke restoran. Terangnya lampu disertai dengan hiasan pernak-pernik kian mengubah suasana restoran menjadi lebih nyaman.
Ada yang aneh pada malam itu, sebab tak biasanya Pak Eka memanggilku di saat jam sibuk seperti sekarang. Apa boleh buat, aku lekas meninggalkan tumpukan piring di wastafel dan segera bergerak menemui Pak Eka di area lobby.
"Ada yang bisa saya bantu, Pak?"
Tanpa aba-aba, Pak Eka lantas berkata, "Hari ini kamu jadi waiter, ya."
Mataku membelalak seketika dan berpikir apa aku sedang salah dengar.
"Waiter?" ucapku dengan mulut setengah menganga.
Pak Eka hanya mengangguk pelan sebagai jawaban atas keraguanku.
Aku merasa kaget sebab sejak awal di sini, aku tak pernah bekerja sebagai pelayan restoran. Lantas timbul pertanyaan dalam benakku. Kenapa Pak Eka tiba-tiba mengganti posisi pekerjaanku.
Lantaran sejak awal aku bekerja, Viktor lah yang memutuskan posisiku untuk bekerja sebagai bagian dishwasher. Walau diprotes oleh Riska, dia tetap bersikeras dengan beralasan bahwa hanya itu posisi yang sedang tersisa.
Riska tak terima dan tampak masih ingin berdebat lebih lanjut, tetapi aku menghentikannya, sebab aku justru lebih nyaman bekerja mulai dari posisi paling bawah. Walau pada akhirnya itu sia-sia, sebab tersebar rumor tentangku, bahwa dasarnya aku tak memiliki kemampuan dan hanya bermodalkan koneksi jalur orang dalam. Tapi tak ada yang bisa kuperbuat, sebab apa yang mereka katakan tak bisa kubantah dan di satu sisi ada benarnya juga.
Gunjingan itu diperkuat oleh rutinnya sosok Riska berada di restoran. Dari desas-desus Aryo dan senior lainnya, bahwa sebelum aku bekerja di sini, sebenarnya Riska sangat jarang berada di restoran.
Walau dia anak dari pemilik dari restoran ini, dia tampak tak begitu tertarik berkecimpung di dalamnya. Kehadiran Riska membuat para pekerja berspekulasi bahwa Riska memiliki perasaan terhadapku. Sejak saat itu, aku pun memutuskan untuk menjaga jarak dengan Riska.
<><><>
Walau merasa cemas, aku tetap menerima permintaan Pak Eka. "Baik, Pak. Saya langsung ganti seragam sekarang, Pak?"
Pak Eka mengangguk pelan lalu berkata, "Ambil di atas loker, ya. Kalau sudah, nanti balik ke sini lagi, ada yang mau di briefing dulu."
Aku menuruti perintah pak Eka dan segera mengganti pakaianku menjadi seragam hitam batik khusus pelayan. Rasa cemas yang saat itu kurasakan kian tertutupi oleh semangat untuk mengambil kesempatan yang muncul di depan mata.
Kupandang cermin sembari merapikan seragam baruku. Dengan sebuah hentakan nafas, kukumpulkan seluruh keberanianku. Kutepuk kedua pipiku beberapa kali lalu aku pun bergegas kembali menuju lobby.
"Kamu layanin tamu reservasi ruangan VIP, ya."
Sebuah kalimat yang diucapkan Pak Eka seketika berhasil merobohkan keberanianku. Aku tak habis pikir, kenapa aku harus melayani tamu VIP di hari pertamaku bekerja sebagai waiter. Belum sempat aku mengajukan protes, tampaknya Pak Eka telah membaca pikiranku dan segera membungkamku dengan telak.
KAMU SEDANG MEMBACA
AMURTI
ParanormalSequel dari Awakening : Sixth Sense Di saat Rama telah pulih kembali dari kecelakaan yang menimpanya, semesta seakan belum puas untuk menguji dirinya. Masalah yang baru satu-persatu menghampiri dan menghantamnya secara bertubi-tubi. Menimbulkan kere...