Keheningan akhirnya kembali pada area itu. Begitu juga langit yang sebelumnya tampak berdarah, kini ia lantas menggelap kembali. Terlepas situasi yang tampak membaik, aku dan Dirga masih belum berani untuk mendekati posisi kedua sosok itu.
Suara dari Lesmono kian menggema. "Aku belum kalah."
"Bangkitlah kalau begitu," balas Mbah Gumelar dengan suara yang datar.
Dengan kaki yang bergetar, sosok Lesmono mencoba untuk bangkit berdiri. Secara bersamaan dia mulai memunculkan portal merah dan mencoba untuk menyerap energi khodam lagi. Dari mulut, hidung hingga seluruh pori-porinya dia mencoba untuk menyerap energi itu dengan secara paksa.
Hingga beberapa saat kemudian, batu merah yang menempel pada dahinya tampak retak. Dia menyadari itu dan langsung menghentikan aksinya. Namun tampaknya dia telat menyadarinya, sebab keretakan dari batu merah itu dengan cepat menyebar. Dia mencoba menghentikannya, namun usahanya sia-sia, sebab pada akhirnya batu itu pecah hingga berkeping-keping.
Sosoknya yang sebelumnya tampak seram bagai jelmaan iblis, perlahan kembali pada wujudnya yang semula. Yaitu seorang kakek-kakek dengan tubuh kurus dan kulit yang pucat. Bisa dikatakan penampakan sosoknya malah semakin memburuk. Dikarenakan tulang belulang tampak menonjol dari permukaan kulitnya. Wajahnya tampak semakin menua, penuh dengan kerutan di setiap sisi.
"Mari bekerjasama denganku," ucap Mbah Gumelar.
Lesmono menggelengkan kepalanya dengan lemah seraya membalas, "Sampai akhir hayatku, aku tak akan tunduk pada siapa pun."
Mbah Gumelar diam sejenak, sekilas tampak segelintir kekecewaan dalam raut wajahnya. "Kau tahu apa ganjarannya, kan?"
Dalam posisi bertekuk lutut, Lesmono lalu menundukkan kepalanya. "Lakukanlah."
Mbah Gumelar menoleh ke arah posisi kami. Dirga mengangguk lalu menatapku seakan menyuruhku untuk mengikutinya. Sembari menyeret sosok Mahendra, Dirga melayang menuju posisi Mbah Gumelar. Begitu juga dengan aku yang mengikutinya dari belakang. Saat posisi kami sudah dekat, Dirga langsung menghempaskan sosok Mahendra ke sebelah Lesmono.
"Gunakan Kala Agni pada mereka," perintah Mbah Gumelar seraya menatapku datar.
Aku bingung sebab baru pertama kali mendengarkan kata tersebut. Oleh sebab itu aku hanya menatap Mbah Gumelar dengan canggung.
Mbah Gumelar menyadarinya, dia lantas berkata, "Api hitam yang baru saja kau dapatkan."
Dahiku mengernyit, seiring aku bertanya-tanya dalam batinku. Bukankah api hitam itu bernama Amurti? Jika tidak, maka apa dari arti Amurti yang selama ini telah dibisikkan padaku. Sebenarnya siapa atau makhluk apa yang selama ini berbisik padaku?
Selain itu, aku juga merasa ragu sebab wadahku sepertinya belum cukup mumpuni untuk menampung energi dari mereka berdua. Aku tak tahu apa yang akan terjadi jika aku memaksa menyerap energi yang berada di luar batas kemampuanku. Namun tatapan mata dari Mbah Gumelar membuatku enggan untuk menolak, aku pun menuruti perkataannya.
Perlahan kuulurkan telapak tanganku ke depan. Api hitam seketika muncul lalu bergerak menjalar pada sekujur tubuh kedua sosok yang ada di hadapanku. Mahendra mencoba untuk memberontak sedangkan Lesmono diam mematung seakan pasrah menerima nasibnya. Dalam sekejap mata, tubuh mereka telah dibalut oleh api hitam dari ujung kaki sampai ke ujung kepala.
Lonjakan energi bagaikan terjangan banjir seketika menghantamku. Secara spontan aku mengambil posisi duduk bersila di tanah. Baru sebentar saja, aku merasa energi yang mengalir ke tubuhku sudah berada di ambang batas. Belum lagi ditambah dengan suara-suara penuh kebencian beserta residual memori yang mencoba mengganggu konsentrasiku, berhasil membuatku gelisah.
KAMU SEDANG MEMBACA
AMURTI
ParanormalSequel dari Awakening : Sixth Sense Di saat Rama telah pulih kembali dari kecelakaan yang menimpanya, semesta seakan belum puas untuk menguji dirinya. Masalah yang baru satu-persatu menghampiri dan menghantamnya secara bertubi-tubi. Menimbulkan kere...