Chapter 9

317 12 0
                                    

Udara sejuk memasuki sela-sela ruangan. Membelai kulit, menyegarkan jiwa dan raga. Perlahan, langit yang gelap berganti biru tua. Suara aktivitas manusia mulai terjun ke pendengaranku. Suara mesin mobil yang dihidupkan, suara benda-benda yang dipindahkan, dan suara percakapan yang samar.

Hangatnya sinar sang surya telah menyentuh punggung. Tak lama kemudian, suara langkah berat menghampiri posisiku. Ketukan pintu berbunyi tiga kali, membuatku lantas beranjak dan segera membuka kunci dari pintu. Pintu terbuka, cahaya matahari seketika menyilaukan mata hingga membuatku berpaling sesaat.

"Silakan, Mas." Di tangan Pak Kusno tampak sebuah mangkuk berisikan seporsi nasi berukuran satu kepalan tangan lengkap dengan sendok dan satu botol air mineral.

"Terimakasih, Pak." Aku menerima nasi dan air itu dan membawanya ke dalam gubuk.

"Bagaimana latihannya, Mas? Lancar?" tanya Pak Kusno sembari mengikutiku masuk ke dalam.

Kutenggak air mineral sejenak lalu perlahan aku menjawab, "Lumayan lancar, Pak."

"Omong-omong, semalam ada dengar sesuatu dari gubuk gak, pak?" tanyaku penasaran.

Pak Kusno menggeleng kepala seraya menjawab, "Nggak ada mas, justru kemarin malam malah sunyi sekali."

Aku hanya mengangguk, menyadari memang ada sesuatu yang tidak beres. Aku rasa, makhluk-makhluk itu bukanlah milik Mahendra. Tak tahu itu milik siapa, tapi yang pasti mereka nyatanya bisa mengancam nyawaku.

"Hmmm ... Pak Mahendra ada sampaikan sesuatu buat saya nggak, Pak?"

"Nggak ada, Mas. Soalnya Pak Hendra kayaknya lagi sibuk. Dari semalam belum keluar kamar."

Aku diam, semakin bingung akan situasiku saat ini. Di satu sisi aku merasa Mahendra tampaknya tidak terlalu perduli dan menganggap serius akan latihanku. Di sisi lain, aku sadar bahwa dia yang memasang pelindung di sekeliling gubuk.

"Setelah ini silakan dilanjut lagi, Mas. Nanti kalau butuh apa-apa, bisa panggil saya di depan," ucap Pak Kusno ramah. "Saya pamit dulu ya, Mas. Soalnya masih banyak kerjaan."

Dengan singkat aku membalas, "Baik, Pak."

Sembari duduk bersandar di dinding, aku mulai memasukkan sendok demi sendok nasi ke mulutku. Selain rasa hambar di lidah, hanya ada rasa hangat yang membantuku untuk menelan. Nasi itu dalam sekejap mata habis, hanya mengganjal rasa lapar sesaat.

Aku pun beranjak membawa mangkuk dan air mineral itu menuju ruang tengah. Sembari berjalan aku menyadari suasana sekitar tampak sangat cerah dan nyaman, berbanding terbalik di saat gelap tiba. Seakan ada tabir yang menyelimuti lokasi ini. Aku merasa berada di dunia yang berbeda. Layaknya dunia yang terisolasi alias tertutup dari pengaruh luar.

Sesampainya di ruang tengah, kuletakkan mangkuk dan air mineral di meja. Tak lupa aku ke kamar mandi untuk membuang air kecil. Setelah itu aku langsung kembali ke gubuk dan melanjutkan latihanku.

Entah kenapa, perpindahan pagi menuju siang rasanya sangat singkat. Sekepal nasi yang kulahap tampaknya tak bisa memuaskan perutku. Perut yang keroncongan pun mulai mengundang angin untuk bersemayam di badan.

Meditasi yang kulakukan siang itu pun terasa jauh lebih rileks dan nyaman. Hingga lama kelamaan, rasa bosan dan jenuh mulai muncul menggerogotiku. Pikiran mulai mengajakku berandai-andai tentang kesenangan duniawi.

Berimajinasi tentang makanan yang nikmat hingga menggodaku untuk memutar hiburan seperti musik dan game. Lucunya, dengan membayangkannya saja sudah bisa membuatku merasakan sensasi nikmat di raga.

Belum lagi ditambah dengan hangatnya suasana siang itu, seperti menggodaku untuk lengah dan meluncur ke dunia mimpi. Sesekali aku menggerakkan badanku untuk menyingkirkan rasa kantuk. Menarik nafas dalam-dalam dan menghentakkannya untuk mengumpulkan semangat.

AMURTITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang