Chapter 13

430 16 2
                                    

Teriakan histeris seketika keluar dari mulut Ibu Devi. Penampakan yang ada di hadapannya berhasil membuat kedua kakinya menjadi lemas. Lututnya pun menjadi hal yang pertama mendarat di lantai. Sementara itu, Ayahnya seketika langsung memeluk Devi dan perlahan menuntunnya untuk duduk di pinggir kasur.

"Gimana perasaannya sayang?" tanya Ayah Devi. "Apa ada yang sakit?"

Perlahan pandangan mata Devi tampak kembali hidup. Namun bibirnya kini kian bergetar, seakan ada sebuah ketakutan mendalam yang telah meresap ke dalam jiwanya. Devi berusaha untuk berbicara, tetapi hanya ada suara terbata-bata yang keluar dari mulutnya.

Ayahnya tampak tak tega dan kembali memeluk tubuh putrinya. "Jangan dipaksain sayang."

"De ... vi ... takut ..., Pa." Dengan susah payah, perkataan itu keluar dari mulut Devi.

"Jangan takut lagi sayang, Papa ada di sini, kok." Ayahnya lalu mengusap-usap rambut Devi dengan halus.

Begitu juga dengan Ibunya yang akhirnya bangkit dan kini memeluknya sembari menangis terisak-isak. Mereka tak memperdulikan bau amis yang berasal dari darah kental yang masih berlumuran di sekujur tubuh Devi. Pemandangan itu terlihat seperti reuni sebuah keluarga yang sudah lama tak bertemu.

Beberapa saat kemudian, pandangan mata Ayah Devi kini tertuju pada guci coklat yang terletak di atas meja. Seakan mengingat sesuatu, dia langsung beranjak dan menutup guci itu kembali.

Dia tampak panik dan buru-buru membawa guci itu keluar kamar. Istrinya dan Devi pun menatapnya dengan bingung, karena tak mengerti apa yang akan dilakukan pria itu. Namun mereka hanya diam, sebab mereka sepenuhnya percaya pada dirinya.

Di sisi lain, Ayah Devi langsung memanggil supir dan membawa guci itu ke dalam mobil. Dia memegangnya dengan erat, seakan ingin menjaga guci itu dengan segenap nyawanya. Dengan beberapa buah kata yang keluar dari bibirnya, dia memerintahkan sang supir untuk mengantarkannya ke tempat yang pernah mereka kunjungi.

<><><>

Di dalam ruangan yang gelap gulita, di mana tak ada setitik cahaya pun yang timbul, terdengar suara berat dari seseorang yang sedang membaca mantra. Semakin lama dia mengucap mantra, suaranya malah terdengar semakin parau.

Sejenak kemudian, suara itu menghilang, digantikan dengan bunyi percikan korek. Api timbul dan menetap pada dua lilin putih di atas meja. Tampak wajah seorang pria dengan mata yang merah layaknya sedang berdarah. Sosok pria dengan raut wajah yang menyeramkan itu adalah Darsa.

Mulutnya tampak terbuka sedikit. Dia lalu berbicara pelan seakan sedang berbisik. Beberapa saat kemudian, tampak sosok wanita muncul di belakangnya. Sosok wanita yang merupakan khodam bernama Minara.

"Ruksapati menghilang," ujar Darsa. "Coba lacak keberadaannya."

Tanpa basa-basi, sosok Minara seketika menghilang bagai asap yang tertiup angin. Dengan sigap dia langsung menuruti perintah dari Darsa. Setelah memerintahkan Minara, Darsa tampaknya belum puas. Sebuah kegelisahan masih tertempel di raut wajahnya.

Dia mulai menggeser posisi mejanya ke belakang. Dia mengambil sebuah kuas dan memasukkannya ke dalam mangkuk yang berisikan cairan merah. Dia lalu jongkok sembari membentuk simbol pentagram di lantai.

Setelah itu dia meletakkan satu persatu lilin di setiap ujung pentagram. Setelah mempersiapkan semuanya, dia berlutut di tengah-tengah pentagram sembari berkomat-kamit mengucapkan mantra. Ritual pemanggilan pun dimulai.

<><><>

Minara terhenti di depan pagar sebuah rumah yang megah. Dia tampak ragu menatap energi ungu yang membentengi rumah itu. Minara lalu menarik selendang merah yang berada di lehernya. Dengan berhati-hati, dia mengulurkan selendang merah itu untuk menembus pagar gaib.

AMURTITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang