Aku hanya diam mematung dalam posisi yang sama, dengan sejuta penyesalan yang terlintas di dalam benak. Lagi dan lagi, aku kehilangan hal yang penting dalam hidupku. Tak berdaya, tanpa bisa melakukan sebuah perlawanan. Rasa kehilangan itu rasanya jauh lebih sakit ketimbang semua luka yang ada pada tubuhku.
"Buang semua rasa kasihan yang ada di dalam hatimu," ucap pria tua itu. "Tenang saja, aku akan menggantikannya dengan yang jauh lebih mumpuni."
"Tutup mulutmu," balasku dingin.
Pria tua itu lantas menatapku dengan tajam. "Huahahaha, sepertinya dirimu sudah kehilangan akal."
Dengan satu ketukan tongkatnya di tanah, tekanan itu kembali muncul menimpa tubuhku. Aku seketika tersungkur di tanah dalam keadaan tak berdaya. Namun kali ini aku mengeluarkan seluruh energi dari tubuhku untuk bangkit berdiri.
Walau rasanya seperti sedang dikuliti hidup-hidup, aku menggertakkan gigiku dan menahannya demi melancarkan satu serangan ke arah pria tua itu. Sebuah serangan berupa bola api hitam seukuran tutup botol yang melayang dengan kecepatan kencang.
Pria tua itu lantas menunjukkan senyuman geli saat melihat seranganku yang tampak lemah. Dia menepis bola api itu dengan jari telunjuknya. Bola api itu seketika padam, namun ada sesuatu yang tetap melayang dari dalam bola tersebut.
Pria tua itu lantas menyadarinya, dia langsung menghindarinya dengan menggerakkan kepalanya. Senyuman di mulutnya seketika memudar saat dia menyadari jari telunjuknya yang telah meneteskan darah. Dia lalu memegang pipinya, sebab di pandanganku terdapat luka tipis seperti tergores benda tajam di sana.
Melihat darah di telapak tangannya berhasil membuatnya murka. Energinya seketika melonjak membuatku terpental beberapa meter ke belakang. Seluruh bagian tubuhku rasanya ngilu hingga tak sanggup untuk kugerakkan.
Aku hanya bisa menengadah ke langit, melihat pemandangan terakhir pada detik-detik penghabisan, di sisa nyawaku yang berada di ujung tanduk. Bintang di langit tampak bagai debu yang berkilau di angkasa, membuatku terpana hingga melepas semua perlawanan demi tercapainya sebuah kepasrahan di dalam batin.
Aku sibuk memerhatikan pemandangan itu, tak memperdulikan apa yang terjadi di sekitarku. Setiap omongan dari sosok pria tua itu bagai suara dengungan nyamuk di pendengaranku. Mataku dimanjakan oleh keindahan langit malam itu.
Hingga beberapa saat kemudian, cahaya kuning muncul dari langit, bergerak layaknya sebuah bintang yang jatuh. Namun sejenak kemudian aku mulai menyadari, bahwa bintang itu sedang bergerak cepat menuju arahku.
Dentuman keras beserta goncangan gempa seketika melanda sekitarku. Terjadi sebuah ledakan yang menyebabkan penglihatanku tertutupi oleh kabut asap. Samar-samar aku melihat bayangan dari dua sosok manusia dari balik kabut itu.
Saat kabut asapnya terpencar, tampak wajah yang tak asing di ingatanku. Wajah dari orang yang dulunya juga pernah membantuku, yaitu Mbah Gumelar dan Dirga alias Suhu Liong. Menyadari kehadiran dua sosok itu, pria tua itu langsung berteriak dengan kencang.
"Serang!"
Makhluk-makhluk yang berada di sekeliling kami langsung menerjang posisi dua sosok itu. Namun saat belum sampai pada tujuannya, mereka telah dihujani dengan serangan berupa energi kuning keemasan yang menyerupai anak panah.
Langit seketika menjadi terang benderang. Saat aku mendongak ke atas, aku menyaksikan hujan anak panah memenuhi pandanganku. Ledakan demi ledakan pun muncul saat serangan itu mendarat pada tanah ataupun tubuh lawan.
Kepanikan seketika merebak pada pasukan demit yang dimiliki oleh pria tua itu. Mereka mencoba untuk tetap bertahan sembari menangkis serangan yang turun dari langit, namun naasnya pertahanan mereka tak sanggup untuk membendungnya. Tubuh mereka seketika meledak tercerai berai hingga tak berbentuk.
KAMU SEDANG MEMBACA
AMURTI
ParanormalSequel dari Awakening : Sixth Sense Di saat Rama telah pulih kembali dari kecelakaan yang menimpanya, semesta seakan belum puas untuk menguji dirinya. Masalah yang baru satu-persatu menghampiri dan menghantamnya secara bertubi-tubi. Menimbulkan kere...