Chapter 29

834 30 17
                                    

Beberapa hari telah lewat, namun aku masih belum bisa memutuskan pilihanku. Kejadian malam itu masih terngiang jelas di ingatanku. Saat kukira aku telah masuk ke dunia hitam lebih dalam, ternyata diriku hanya menyentuh permukaannya saja. Saat aku menengok ke bawah, ternyata ada jurang di bawah sana.

Terbesit di benakku, apakah Ayahku tahu tentang kisah Amurti? Apakah dia juga selama ini menyembunyikan hal itu padaku? Apakah dia kenal dengan Mbah Gumelar? Pertanyaan demi pertanyaan kian muncul di pikiranku.

Maka dari itu, sore itu kuputuskan untuk pulang ke rumah. Aku ingin menanyakannya langsung pada Ayahku. Apa dia terlibat dalam rahasia yang selama ini telah dipendam. Sekaligus juga, aku ingin bertanya apakah aku sebaiknya menerima tawaran dari Mbah Gumelar. Dengan perasaan yang menggebu-gebu, aku pulang ke rumah.

<><><>

Sesampainya di depan rumah, aku mengetuk pintu berkali-kali, berharap agar kedua orangtuaku menyadari kedatanganku. Beberapa saat kemudian, pintu terbuka dan menampakkan sosok Bapak yang melihatku dengan tatapan yang berbeda. Namun belum sempat aku berbicara, Bapak sudah terlebih dahulu berbalik badan dan masuk ke dalam rumah.

Aku pun menutup pintu secara perlahan lalu mengikutinya masuk ke dalam rumah. Tetapi baru saja aku menginjakkan kaki ke dalam ruang tengah, tiba-tiba Bapak melayangkan pertanyaan padaku, "Kenapa kamu?"

"Maksudnya, Pak?" tanyaku balik dengan bingung.

"Bagaimana bisa auramu begitu gelap?" tanya Bapak dengan nada curiga. "Kamu sembunyikan sesuatu, ya?"

Semua yang kulakukan dalam satu bulan itu langsung terbesit di benakku. Namun aku bingung, apakah energiku yang memang terlalu gelap atau Bapak yang terlalu peka. Di sisi lain aku juga terjebak dalam dilema. Apakah aku harus menjelaskan apa yang kualami pada Bapak, atau tetap merahasiakannya, sebab selama ini aku tak pernah terbuka padanya.

"Kamu bunuh orang?" Pertanyaan itu tiba-tiba keluar dari mulut Bapak, yang seketika berhasil membuatku diam tertegun.

Melihatku yang enggan menjawab, Bapak dengan tegas memaksaku untuk membalasnya. "Jawab!"

"Iya ...," ucapku pelan. Tampaknya tak ada gunanya lagi berbohong di depannya.

Seketika tamparan mendarat pada pipiku. Aku terkejut bukan main, sebab ini pertama kalinya Bapak menampar wajahku. Aku memengangi pipiku yang terasa panas. Sejenak aku merenung, berpikir bahwa aku memang pantas menerima tamparan ini.

"Siapa yang ngajarin kamu?" tanya Bapak dengan lantang. "Bergaul sama siapa aja kamu selama ini?"

"Bapak gak perlu tau," jawabku sembari tersenyum kecut.

Tamparan yang lebih keras kian mendarat di pipiku. Aku menoleh kembali dan menyaksikan tatapan mata Bapak yang tajam. Tampak nafasnya yang mengencang karena menahan amarah. Wajahnya tampak memerah bagai tomat.

"Bukannya Bapak selalu ngomong gitu sama Rama?" ucapku sambil tersenyum tipis.

"Anak kurang ajar!" bentak Bapak seraya melayangkan telapak tangannya.

Namun saat telapak tangannya masih di udara, teriakan histeris muncul dari sebelah kami. Aku spontan menoleh, dan ternyata di sana ada Ibu yang sedang menyaksikan kami dengan mata yang membelalak. Ibu langsung berlari menghampiriku dan memelukku dengan erat, seakan berusaha untuk melindungiku dari amukan Bapak.

"Apa-apaan kamu!" teriak Ibu yang seketika berhasil menurunkan telapak tangan Bapak.

Bapak tak membalas ucapan Ibu, dia lantas menarik nafasnya dalam-dalam dan menghembuskannya sembari memejamkan matanya. Bapak lalu menapakkan langkah untuk meninggalkan kami.

AMURTITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang