Jeritan dan keheningan terjadi secara silih berganti. Deru angin malam menjadi pengisi jeda atas penderitaan sebuah makhluk. Keangkuhan yang dipamerkannya sejak awal, kini telah sirna digantikan oleh rintih dan tangisan memohon ampun. Dia berharap agar pria yang ada di hadapannya dengan berbaik hati, rela untuk mengakhiri penderitaannya.
"Tolong ...," Sosok Minara yang ada di hadapanku kini hanya bisa berucap lemah sembari memasang raut wajah memelas.
"Memohonlah pada tuanmu," balasku. "Saat ini, aku hanya memberikanmu balasan yang setimpal."
Minara lantas bertekuk lutut layaknya menyembah. "Aku rela menjadi pengikutmu. Tolong lepaskan aku."
"Aku tak butuh pengikut." Kutolak penawarannya mentah-mentah, lalu aku kembali mengerahkan api hitam ke sekujur badannya.
"Arghhhhhhh!"
Pemandangan sosok Minara yang terbakar terjadi berulang-ulang kali. Membakar lalu memulihkan tubuhnya kembali hingga seperti yang semula. Aku bahkan sampai lupa akan jumlahnya karena terlalu sering. Aku masih menikmati sensasi kekuatan yang saat itu kurasakan. Sejenak muncul sebuah kegelisahan, juga sebuah keinginan agar kekuatan itu tak menghilang.
Lantaran sudah cukup lama melakukan aksi itu, aku mulai merasa bosan. Namun aku tak membiarkan khodam bernama Minara itu binasa dengan mudah. Terbesit suatu ide dariku. Tanpa basa-basi, aku langsung mengeksekusi ide itu.
Aku mulai mengerahkan semua api hitam yang ada di sekitarku menuju pagar gaib yang membentengi gubuk tempat tubuh fisikku berada. Dengan sekuat tenaga, aku menghantam pagar gaib itu hingga terjadi sebuah goncangan dan ledakan di sekitarnya. Namun aku tak berhenti sampai di situ saja, aku semakin berkonsentrasi mengarahkan seranganku pada satu titik, yaitu bagian pada bagian pintu.
Pagar gaib yang tadinya tak terlihat kini mulai memunculkan energi berwarna ungu. Gesekan energi api hitam dan pagar gaib berwarna ungu itu pun tak terelakkan. Dentuman demi dentuman kian terdengar memekikkan pendengaran. Namun yang terjadi tak sesuai ekspektasiku. Akumulasi api hitam yang kukerahkan malah terpental ke arah langit. Hingga kemudian, terdengar sebuah ledakan yang berhasil meruntuhkan tabir pelindung rumah Mahendra layaknya kaca yang pecah berkeping-keping.
Saat aku mendongak ke atas, dari kejauhan tampak sebuah sinar berwarna kuning yang bergerak menuju arahku. Aku lantas mengikuti naluriku dengan mundur beberapa meter ke belakang. Sinar kuning itu bergerak dengan secepat kilat hingga hampir mengenaiku. Saat kuperhatikan, sinar itu ternyata sebuah trisula yang kini telah tertancap di tanah, hanya terpaut satu jengkal di hadapanku.
Sejenak kemudian, muncul gumpalan asap hitam bagaikan awan yang kian mengelilingi seluruh area rumah Mahendra. Dari gumpalan asap tersebut, muncul satu persatu makhluk dengan wujud prajurit yang memegang tombak. Namun dari semua itu, yang paling mencolok adalah sosok iblis bermahkota yang sedang ditenteng empat prajurit menggunakan tandu singgasana emas. Sosok iblis yang selama ini disembah oleh Darsa.
Dari balik asap itu, ratusan atau bahkan ribuan prajurit tampak membentuk formasi seakan sudah siap untuk menyerangku. Mereka menatapku dengan tajam, seakan berhadapan dengan musuh bebuyutannya.
Trisula yang tadinya menancap di tanah, kini bergetar dan melayang kembali pada pemiliknya, yaitu sosok yang sedang duduk di atas tandu singgasananya.
Sosok itu mulai memecahkan keheningan seraya berteriak, "Kembalikan anakku!"
Aku lantas mengangkat potongan kepala Minara tinggi-tinggi sembari berkata, "Apa bayarannya?"
Dengan ekspresi datar sosok itu menjawab, "Aku akan membiarkanmu hidup."
Aku pun lantas tersenyum atas penawarannya. "Baiklah, akan kukembalikan anakmu."
Aku langsung melempar kepala Minara menuju gerombolan para prajurit. Para prajurit itu pun seketika panik dan mencoba menangkapnya dengan berhati-hati. Pada akhirnya, salah satu dari pasukan itu berhasil menangkapnya dan segera membawa Minara ke hadapan rajanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
AMURTI
ParanormalSequel dari Awakening : Sixth Sense Di saat Rama telah pulih kembali dari kecelakaan yang menimpanya, semesta seakan belum puas untuk menguji dirinya. Masalah yang baru satu-persatu menghampiri dan menghantamnya secara bertubi-tubi. Menimbulkan kere...