Chapter 18

377 13 3
                                    

Langit mendung beserta suara petir yang menyambar kian mengiringi perjalanan kami. Suasana canggung memenuhi mobil, sebab di sepanjang perjalanan, Mahendra dan pria bernama Basuki itu tak berucap sepatah kata pun. Tak ada basa-basi, pandangan kami hanya tertuju ke depan.

Hingga beberapa saat kemudian, akhirnya kami sampai ke lokasi pemakaman umum. Saat kami turun dari mobil, suasana di sekitar tampak sepi. Suasana muram yang berpadu dengan langit mendung mengiringi langkah kami. Beberapa pohon beringin kian terpampang di beberapa titik. Hamparan batu nisan mengaburkan jalan setapak menuju lokasi tujuan.

Mahendra melangkah memimpin jalan dari depan. Sementara aku dan Basuki hanya mengekornya dari belakang. Tak lama kemudian, dari kejauhan tampak sebuah rombongan yang sedang berdiri di sekeliling tanah galian. Ada yang berbincang-bincang, ada yang hanya memperhatikan dengan diam membisu, ada juga yang sibuk memimpin prosesnya.

Saat sudah mendekat, pria yang tampak di memori Minara datang menghampiri kami. Pria paruh baya yang merupakan Ayah dari Devi kian mengulurkan tangannya menyalami kami. Di belakangnya tampak beberapa pria yang sedang mendampinginya. Jaket yang tercantum logo partai tampak menghiasi tubuh mereka yang tegap.

Namun sejenak kemudian, aku mulai menyadari bahwa ada figur perempuan yang tampaknya tak asing di pandanganku. Sosok yang sebelumnya pernah kulihat bersama Darsa. Seorang perempuan paruh baya yang bernama Puspa.

Wajahnya yang pucat tampak memasang ekspresi datar. Matanya kosong bagai tak bernyawa. Bagiku, bukan kesedihan ataupun kemarahan yang terpancar dari dirinya, melainkan suatu kelinglungan.

Beberapa perempuan paruh baya yang berada di dekatnya mencoba merangkul dan mengusap-usap tubuhnya sembari berucap kata sabar. Mereka tampaknya tak menyadari, bahwa sukma dari wanita itu tak lagi utuh. Akibat sudah terlalu lama dirinya di manipulasi, dia hampir mustahil untuk kembali seperti yang semula. Mungkin detik itu juga dia bingung dan lupa akan nama dirinya sendiri. Dia tak mengenal orang-orang di sekitarnya. Begitu juga dengan siapa yang sedang dimakamkan.

"Sari ...." Hanya nama itu yang keluar dari mulut perempuan itu. Tak ada kata yang lain. Dia hanya berulang-ulang memanggil nama Putrinya. Mungkin cuma memori tentang Sari yang tersisa di benaknya. Ternyata naluri seorang ibu tak akan menghilang, bahkan saat dirinya sudah tak utuh lagi.

Muncul suatu pertanyaan di dalam benakku. Apakah yang kulakukan ini benar? Aku menyadari, bahwa tanganku kini telah berlumuran darah. Aku telah mencabut nyawa dari seorang manusia. Walau orang itu bejat dan melakukan kesalahan di sepanjang hidupnya, apakah aku berhak untuk menghilangkan nyawanya? Pertanyaan itu lantas terngiang-ngiang di kepalaku.

Di sisi lain, jenazah Darsa yang sudah dibungkus oleh kain kafan kini mulai diturunkan ke liang lahat. Tak ada sesuatu yang janggal terjadi. Proses pemakaman kian berjalan dengan lancar. Namun gemuruh petir terdengar semakin keras, tanda bahwa hujan akan turun sebentar lagi.

Oleh sebab itu, selesai prosesi pemakaman, orang-orang lantas mempercepat langkahnya untuk pulang. Namun tidak dengan Mahendra dan Ayah Devi, mereka tampak sedang asik bercakap-cakap. Membahas tentang bisnis dan politik, yang rasanya tak menarik bagiku. Aku dan Basuki berdiri di belakang mereka, bagaikan bodyguard yang sedang berjaga. Di saat sedang berjalan menuju mobil, sekilas aku mendengar percakapan dari mereka.

"Semuanya sudah aman, kan?" tanya Ayah Devi memastikan.

Mahendra lantas menjawabnya dengan penuh percaya diri. "Tenang saja, Pak. Sudah beres semua, kok."

Ayah Devi mengangguk puas lalu lanjut berkata, "Dengar-dengar, katanya ada bekas gosong di jasadnya."

"Iya, tapi itu bukan dari saya, Pak." Tatapan Mahendra lantas bergeser ke arahku. Begitu juga dengan Ayah Devi, yang kini menatapku dengan penuh ketertarikan.

AMURTITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang