Chapter 17

396 15 1
                                    

Rasa sakit menjalar di seluruh bagian tubuh. Nyeri melekit terjadi di setiap sudut. Membuatku tak berniat untuk menggerakkan badan. Perlahan mulai kubuka kedua mataku yang sebelumnya terpejam. Sinar putih langsung menyambut penglihatanku dengan ramah. Aku menoleh memerhatikan sekitarku, namun tak ada apa-apa selain perabotan kamar. Suasana yang benar-benar hening membuatku kembali menjadi was-was.

Memori akan apa yang telah terjadi sebelumnya kembali berputar di benakku. Semua hal yang kualami itu bagaikan sebuah mimpi. Sekilas aku berpikir, apakah aku hanya berhalusinasi saja. Namun itu semua terbantahkan oleh kondisi dan posisi tubuhku yang sekarang. Rasa sakit itu nyata, dan posisi tubuhku seharusnya berada di gubuk belakang.

"Amurti," ucapku dalam batin.

Rasa sakit tiba-tiba seakan menonjok dari dalam. "Uhukkkk ... uhukkkk ...."

Beberapa saat aku terbatuk-batuk bagaikan orang sakit yang hampir menjemput ajal. Lantas aku memejamkan kedua mataku sembari menghela nafas dengan panjang. Aku bersyukur karena masih bisa merasakan keberadaan dari energi api hitam itu di dalam tubuhku.

Aku mulai memerhatikan kondisi bajuku yang masih menyisakan bercak darah. Sekujur tubuhku juga terasa lengket oleh keringat yang mengering. Walau terasa nyeri, aku mencoba untuk beranjak dari kasur. Baru saja mencoba beranjak, tiba-tiba suara langkah kaki muncul. Pergerakanku seketika terhenti dan seluruh perhatianku tertuju pada bilik pintu.

"Kreekkk ...." Pintu terbuka dan muncul sosok Pak Kusno yang langsung memancarkan senyuman ke arahku.

"Sudah baikan, Mas?" tanya Pak Kusno dengan ramah.

Aku hanya mengangguk pelan sembari membendung berbagai macam pertanyaan yang telah muncul di benakku.

"Saya antarkan makan dan minumnya ke sini ya, Mas?" tawar Pak Kusno.

Aku baru menyadari bahwa perutku ternyata sudah keroncongan, namun itu adalah hal sekian yang kupikirkan. Saat itu aku penasaran akan hal yang lain, lantas aku bertanya dengan suara yang serak.

"Saya sudah tidur berapa lama ya, Pak?"

Pak Kusno menggaruk-garuk jenggot yang ada di dagunya. "Hmmm, ada satu hari penuh kayaknya, Mas. Soalnya sekarang sudah tengah malam."

Aku pun tertegun seketika. Aku tak menyangka telah tak sadarkan diri selama itu. Tetapi ada hal lain yang membuatku jauh lebih penasaran. Oleh sebab itu, pertanyaan yang keluar dari mulutku kian berlanjut.

"Pak Mahendra sekarang ada di mana, Pak?"

Sejenak, mata dari Pak Kusno tampak sibuk bergerak memperhatikanku. "Pak Hendra lagi ada di bawah, Mas."

Tanpa berpikir panjang, aku memaksakan tubuhku untuk bangkit demi menemui pria itu. Rasa penasaranku tampaknya cukup berhasil untuk meredam rasa sakit yang masih melanda tubuhku. Kugertakkan gigiku sembari menggerakkan tubuhku yang terombang-ambing.

Pak Kusno menyadari kondisiku, beliau lantas membantu memapahku. Secara perlahan, langkah demi langkah kupijakkan dengan susah payah. Mata berkunang-kunang bersamaan dengan rasa pusing menghampiriku kembali. Untungnya ada Pak Kusno yang menuntunku dengan sabar.

Setelah turun dari tangga dan sampai di ruang tengah, akhirnya tampak seorang pria di pandanganku. Dia berdiri membelakangiku sembari menatap belakang rumah dari kaca yang tembus pandang. Memandang bulan yang menyinari gelapnya malam. Pria itu berbalik badan, menatapku dengan sebuah senyuman yang mekar dari bibirnya.

Langkahku terhenti saat sudah berada depan-depanan dengannya. "Apa mau anda sebenarnya?"

Dia memegang dagunya sembari menatap ke atas. "Hmmm ... butuh hiburan mungkin."

AMURTITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang