Chapter 20

400 12 2
                                    

Senja nan indah kala itu hendak mengantarkanku menepati janji. Deru suara motorku perlahan menghilang dari kos, bersamaan dengan sang surya yang tenggelam di ufuk barat. Langit kian menjelma hitam, tergantikan oleh kegelapan yang menyeruak melanda bumi.

Lagi-lagi, motorku harus bermalam di rumah mewah milik Mahendra. Pemandangan yang cukup janggal, sebab motorku tampak sangat mencolok di antara koleksi mobil mewah di parkirannya. Seperti awal mula aku datang ke rumah ini, Pak Kusno lantas menuntunku menuju ruang tengah. Di sana sudah tampak sosok Mahendra yang sedang duduk di sofa menatap layar televisi.

Menyadari bahwa aku sudah tiba, dia langsung beranjak dari sofa dan mengulurkan tangannya untuk menyalamku. Aku lantas membalas uluran tangannya sembari bertanya-tanya dalam batin, kenapa dia jadi bertingkah seramah ini. Sementara itu, Mahendra mempersilakanku untuk duduk di sofa.

"Udah makan?" tanya Mahendra dengan senyuman yang ramah.

Aku hanya mengangguk canggung sembari memerhatikan sekitar ruang tengah. Entah kenapa aku merasakan sesuatu yang berbeda dari yang sebelumnya. Suasana terasa lebih cerah, berbeda dengan suasana mencekam beberapa hari yang lalu.

Setelah berbasa-basi dengan cukup lama, Mahendra akhirnya memutuskan untuk mengajakku ke ruangan praktiknya. Dengan langkah yang santai kami menaiki tangga dan berjalan menuju ruangan yang berada di paling ujung. Sesampainya di depan pintu, Mahendra lantas memasukkan kunci dan membuka pintu kayu secara perlahan.

Pemandangan timbunan boneka dengan rupa yang menyeramkan seketika menyambutku. Berbagai rupa patung dan aksesoris berkesan mistis tertata rapi di sekeliling ruangan. Uniknya, tak ada sedikit pun ruang yang tersisa di tembok ruangan itu. Semuanya terpenuhi oleh berbagai macam lukisan dan bingkai foto. Namun satu hal yang kusadari adalah bahwa ruangan itu sama persis dengan apa yang kulihat pada memori Minara, khodam dari Darsa.

Saat mengikuti Mahendra melangkah masuk ke dalam, udara pengap dan debu seketika menyeruak menghampiriku. Mungkin bagi orang awam yang indra keenamnya tak aktif, tempat ini kesannya sangat angker dan menyeramkan. Begitu pula denganku, aku merasakan berbagai macam presensi yang mendiami benda-benda itu.

Ditambah lagi dengan suasananya yang remang-remang, membuat ruangan ini sangat mencurigakan. Ruangan itu bagaikan kedap suara, sebab saat berada di dalam, rasanya aku seperti terisolasi dari dunia luar. Suara keras dari televisi di bawah sama sekali tak terdengar.

Saat aku sudah memijakkan kaki di dalam, Mahendra langsung mengunci pintunya dari dalam. Dia lalu mengambil posisi duduk bersila di belakang sebuah meja granit yang di atasnya terdapat banyak kertas foto. Di tengah-tengah hamparan foto itu, terdapat beberapa tangkai cempaka putih alias kembang kantil.

Aku duduk di seberangnya sembari memerhatikan setiap objek gambar dari setiap foto tersebut. Mulai dari gedung hotel, gedung apartemen, restoran, pabrik dan berbagai macam jenis gedung tertera dalam foto-foto tersebut.

Namun dari semua foto tersebut, ada satu kertas foto yang berisikan sosok pria paruh baya dengan senyum simpul di wajahnya. Pria itu duduk di sebuah kursi kayu jati yang megah layaknya seorang bangsawan. Entah kenapa, bulu kudukku seketika merinding saat menatap sosoknya. Muncul sebuah kengerian yang tak bisa kujelaskan dari mana asalnya. Murni sebuah ketakutan.

Mahendra lantas mengambil kertas foto tersebut seraya berkata, "Dia target kita malam ini."

Muncul sebuah keraguan dalam batinku, sebab naluriku mengatakan bahwa aku tak cukup percaya diri untuk menghadapi pria yang ada di dalam foto tersebut. Melihatku yang hanya diam membisu tampaknya membuat Mahendra menyadari keraguanku.

"Jangan gentar dulu. Soalnya tujuan kita bukan untuk menghabisi dia," ucap Mahendra. "Saya hanya ingin mengambil mustika yang ada di rumahnya."

"Jadi foto ini semua untuk apa?" tanyaku bingung.

AMURTITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang