Seorang perempuan berusia delapan belas tahun tengah mengelus-elus perut besarnya di dalam kamar. Pandangannya jauh ke depan, melihat rumah berderet padat berdesak-desakan. Sesekali, atau bahkan sering sekali terdengar lalu-lalang para pedagang menawarkan dagangannya untuk mengusir dahaga dan lapar di siang terik seperti sekarang. Terkadang suara gelak tawa tetangga terdengar masuk sampai ke rumah. Pemukiman di daerah ini memang sangat padat. Tepatnya berdempet.
Usia kandungan Ayudia sudah lebih dari empat puluh minggu. Sejak dua hari lalu, dokter kandungannya telah memberikan semacam pil untuk merangsang rasa mulas, tapi belum bereaksi apa-apa sampai detik ini.
Ketika Ayudia baru saja menyelesaikan salat zuhur, dia merasai perutnya tiba-tiba sakit sekali. Bahkan untuk sekadar melepas mukena yang sedang dikenakan saja, dia merasa kesulitan. Dengan susah payah, tubuhnya yang sudah sangat besar itu duduk di atas ranjang kayu. Mencari ponsel ke sana-sini, berniat menelepon Benny, suaminya.
Langkah Ayudia terasa berat, telapak kakinya serasa ditusuk banyak jarum dalam waktu bersamaan. Bibirnya agak bergetar setiap langkahnya menapak. Sebelah tangannya terus memeluk perut yang seperti balon, sedang tangan lainnya berpegangan pada dinding yang terasa hangat.
"Bu ... Ibu," panggil perempuan mungil itu.
Tak ada jawaban.
Mungkin ibunya tengah melayani pembeli di warung kecil mereka. Ayudia dengan menahan sakit, terus menyusuri lorong rumah sempit guna mencari sosok perempuan baya di bagian depan rumah.
"Bu," panggil Ayudia sekali lagi.
Setelah sahutan kedua, terdengar teriakan balasan. "Kenapa, Yu?" tanyanya dengan jarak yang masih jauh.
"Bu," panggil Ayudia lagi. Dia tak bisa menjelaskan rasa sakit seperti ini kala napasnya saja sulit untuk diatur.
Bu Hidayati, ibu dari Ayudia berjalan ke arahnya dengan langkah tergopoh-gopoh. Raut wajah beliau sedikit cemas tatkala melihat putri satu-satunya meringis sambil mengusap-usap perut. "Kenapa, Yu? Sakit?"
Ayudia menjawab dengan anggukan singkat. Sesekali terdengar suara mengaduh dari bibir mungilnya. Membuat Bu Hidayati semakin bingung. Perempuan berusia empat puluh delapan tahun itu membawa Ayudia duduk di atas karpet depan televisi kecil yang jarang ditonton. Raut wajah beliau mencoba dikondisikan setenang mungkin agar anaknya tak ikut panik bersamanya.
"Jelasin ke ibu, sakitnya kayak gimana?"
Ditengah keringat yang mulai bercucuran, Ayudia menatap netra ibunya lembut. "Kayak lagi sakit haid, Bu. Tapi ini lebih sakit lagi," jelasnya agak terbata dengan nada naik turun.
Bu Hidayati sadar bahwa anaknya ini tengah mengalami kontraksi. Beliau dengan langkah yang agak gemetar karena panik, tergopoh-gopoh mengambil ponsel miliknya yang bertengger di atas etalase dagangan.
"Oh, iya," ucap beliau seraya memandang wajah putrinya yang masih meringis.
Ayudia menoleh sebentar, menatap ibunya dengan penuh tanda tanya.
"Benny di mana?"
Dengan segera Ayudia menggeleng. "T-tak tahu, Bu."
Tanpa banyak bertanya lagi, Bu Hidayati menuntun Ayudia kembali ke kamar. Langkah mereka begitu pelan dan penuh kehati-hatian. Kamar Ayudia yang dulu berada di bagian tengah bangunan rumah ini.
Bangunan ini sendiri memiliki bentuk seperti persegi panjang. Terlihat sesak dari depan karena memiliki dimensi yang tidak begitu luas, tidak lebih dari tiga meter. Tapi, memiliki panjang ke belakang sekitar dua puluh meteran. Bagian depan dipakai ibunya untuk membuka warung kecil-kecilan seperti sembako, jajanan anak kecil, es krim dan pulsa. Ruang tengah adalah kamar ibu dan ayahnya yang hanya ditutupi gorden. Kemudian ruang televisi yang sempit.
***
Halo, aku kembali dengan cerita baru 😘💛
Ceritanya agak mengiris hati ya, based on true story.
Wokeh, sebelum baca jangan lupa follow akun aku yaa. Biasa penulis baru mah, follow-an kalian sangat berarti banget gitu lho, uhuy. Jangan lupa tinggalin vote dan komen juga lho. 😍🙏Aku update juga di Karya Karsa ya dengan akun: Fitria Noormala
Salam,
Author
KAMU SEDANG MEMBACA
Sebaris Cinta Ayudia
Lãng mạnAyudia Adhisti adalah siswi SMA kelas sebelas yang mengikuti ekstrakurikuler musik di sekolahnya. Tiga bulan setelah acara pensi sekolah itu dia telat haid. Tapi, tak ada yang curiga sama sekali karena siklus haid dirinya memang tak teratur. Namun...