Bel istirahat berbunyi. Seluruh siswa berhamburan keluar dari kelas mereka masing-masing, berburu sarapan atau buku paket yang menunjang pendidikan selama semester dua. Ayudia duduk di bangku seorang diri saat kelas mulai kosong. Hanya ada Nilam yang memerhatikan dari kejauhan.
Perempuan muda itu masih merasai mual dan pusing karena bawaan hamil di trimester awal, apa lagi ini hari Senin, sejak upacara pagi tadi badannya seperti remuk tak memiliki tulang belulang.
Sambil menjentikan pulpen berkali-kali, otaknya tak berhenti berpikir mengenai orang tua Benny yang mengajaknya berdamai dengan nominal lima puluh juta kemarin.
Sebetulnya itu banyak atau sedikit, sih? Tanyanya dalam hati.
Perempuan yang tak tahu apa-apa tentang kehidupan selain belajar ini kebingungan. Tak paham tentang negosiasi kemarin, apakah merugikan atau menguntungkan sebenarnya?
Itu bisa buat beli motor sama HP baru bukannya, ya?
Saat batinnya berperang sendiri, seseorang menjawil ujung rambutnya dengan jahil.
Lehernya otomatis berputar, di sana ada Rama sambil menenteng keresek putih berisikan jus alpukat yang masih berkeringat.
"Lemes pasti kan, lo?" tanyanya seperti dukun yang sok tahu semua hal yang dirasakan Ayudia.
Perempuan itu berdecih, lalu berusaha bangkit dari posisi malasnya yang mendaratkan seluruh tubuh agar bertumpu di atas meja. Sekarang, dia mencoba duduk tegak dan menatap Rama dengan manusiawi.
"Pacar baru, nih." Deon berteriak sambil mendelik bengis. Langkahnya gontai berlalu keluar dari kelas.
Nilam yang sejak tadi memerhatikan Ayudia dan Rama pun tanpa sadar setuju dengan kalimat Deon. Bahkan seluruh isi kelas membicarakan mereka dengan terang-terangan saat Ayudia tak ada di sana.
Perempuan yang baru disindir itu menatap punggung Deon yang menghilang di balik pintu dengan netra bingung. Bahkan kedua alisnya mengerut.
Dia kenapa, sih? Ujarnya dalam batin.
Rama yang diabaikan sejak tadi–sambil menenteng jus alpukat, akhirnya duduk lesehan di lantai. Lama sekali menunggu respons baik dari rekannya yang tengah berbadan dua.
"Biarin ajalah orang mau ngomong apa, Yu. Nggak usah sampe diliatin banget gitu." Rama mengomentari mimik muka Ayudia Adhisti yang terus menatap kepergian Deon.
Karena kalimat tersebut, perempuan itu baru sadar atas kehadiran Rama yang sejak tadi terabaikan.
Netranya terjun ke bawah, melihat remaja lelaki tengah duduk pasrah di atas lantai dengan wajah bosan.
"Ah, sorry-sorry, Ram. Kenapa? Gimana?" tanya Ayudia akhirnya menganggap kehadiran lelaki itu.
Tanpa persetujuan siapa pun, Rama menggandeng tangan Ayudia untuk bangkit dari kursi. Menariknya pelan agar mengikuti langkahnya keluar dari ruangan kelas.
"Mau ke mana?" tanya Ayudia bingung.
"Ngobrol kayak biasalah, apa lagi?" Rama malah balik bertanya.
Semilir angin berembus dari timur ke barat, pohon-pohon yang rindang menjatuhkan banyak sekali daun kering ke dalam dan sekeliling lapangan basket. Membuat pekerjaan petugas kebersihan semakin banyak.
Dua pasang bola mata yang tengah duduk bersisian itu memandang beberapa anak lelaki yang bermain futsal di lapangan ini–lapangan basket. Mereka membuat gawang bayangan dengan batu atau mengorbankan sepasang sepatu siapa saja agar permainan mereka berjalan mulus.
Rama menyodorkan plastik putih yang sejak tadi dia jinjing, "Minum, nih. Keburu nggak seger lagi nanti."
Ayudia memandang keresek putih yang penuh dengan keringat tersebut. Sepertinya sebagian es batu telah mencair. Kemudian lengan mungil itu menerima pemberian Rama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sebaris Cinta Ayudia
RomanceAyudia Adhisti adalah siswi SMA kelas sebelas yang mengikuti ekstrakurikuler musik di sekolahnya. Tiga bulan setelah acara pensi sekolah itu dia telat haid. Tapi, tak ada yang curiga sama sekali karena siklus haid dirinya memang tak teratur. Namun...