Lamat-lamat dia perhatikan darah yang menempel di balik celana dalam itu. Tak ada gumpalan atau darah pekat seperti orang yang tengah datang bulan.
Kenapa, ya? Tanyanya bingung dalam batin.
Karena pikirannya sudah buntu. Dia memilih mengambil sabun cair di atas rak, mengeluarkan sedikit isi di dalamnya, lalu mengoles dan mengucek sebentar di atas kain segitiga miliknya sampai benar-benar bersih.
Setelah lima belas menit berlalu, dia keluar dari toilet sambil menggosok-gosok handuk ke atas kepala agar rambutnya lekas kering. Tapi, saat dia mencoba melangkah lebih jauh, area panggul dan kewanitaannya terasa sakit luar biasa.
"Uh," ucapnya pelan.
Dengan segera tangan kanannya menaruh kembali handuk yang sudah basah di atas jemuran seperti tadi, lalu gadis itu berjalan ke arah kamar perlahan sambil berpegangan pada dinding di sebelahnya.
Langkah Ayudia sangat pelan dan kaku, persis seperti robot di toko mainan.
Karena mendengar pintu kamar mandi sudah ditutup kembali, Bu Hidayati berjalan ke arahnya. "Makan jangan lupa. Ibu udah masak."
"Masak apa, Bu?" tanyanya sedikit berteriak, karena ibunya sudah berjalan kembali ke depan rumah. Seorang laki-laki baya tengah membeli minyak goreng dimintai tolong istrinya.
"Liat aja sendiri, Yu." Bu Hidayati menjawab putrinya dengan teriakan juga.
Begitulah ibunya. Meski tatapan dan perilakunya tegas, perhatian pada anak tunggalnya tetap nomor satu. Beliau pekerja keras yang sudah duduk di warung sejak pukul enam pagi sampai pukul sepuluh malam setiap hari.
Napas halus nan panjang akhirnya keluar juga dari rongga hidung Ayudia. Hatinya mulai lega karena emosi ibunya mulai reda. Dia melanjutkan langkah sampai ke kamar, mengambil sajadah dan mukena di atas rak samping kasur dan melaksanakan salat isya.
Sudah rakaat ketiga, ngilu di area kewanitaannya tak kunjung hilang, tetap sangat nyeri, ngilu dan menyiksa. Selesai salat, badannya dibaringkan sejenak di atas kasur. Tulang-tulang yang bekerja keras beberapa hari ini untuk kesuksesan pensi terasa remuk.
Lelah sekali. Batinnya menggema.
Perlahan, matanya mulai terpejam. Rambut panjang sebahu yang masih basah dibiarkan terurai acak di atas bantal. Matanya begitu berat sekali meski perutnya berkali-berkali berbunyi minta diisi.
Masa bodoh.
Waktu menunjukkan pukul sepuluh malam. Bu Hidayati sudah menguap berkali-kali karena kelelahan menjaga warung. Beliau dengan segera menutup pagar dan menggemboknya dengan teliti, lalu beringsut ke dalam mengunci pintu dan menutup gorden rapat-rapat.
Saat perempuan baya itu berjalan ke arah dapur, dia melihat masakan dan nasi masih tersisa banyak. Wanita itu sadar bahwa Ayudia melewatkan makan malam.
Ketika dia membuka gorden kamar putrinya, gadis berusia tujuh belas tahun itu tengah meringkuk sembarang dengan rambut yang masih basah.
Dengan sentuhan berkekuatan sedang, tangan gempal milik Bu Hidayati menggoyang-goyangkan tubuh mungil Ayudia.
"Hei, makan dulu," ucapnya berkali-kali dengan sabar.
Gadis yang menjadi objek sasaran ibunya malah meracau tak jelas, kemudian berbalik badan menghadap dinding.
"Lapar kamu tuh, hei!" Nada Bu Hidayati semakin naik.
Tubuh Ayudia diguncang semakin keras sampai dua mata indah gadis itu bertatapan dengan manik milik ibunya yang tengah menyorot tajam ke arahnya.
"Hng?" tanya putrinya sambil menahan kuap dengan dua tangan.
"Makan!" ucap Bu Hidayati sekali lagi dengan tegas.
Dengan segera Ayudia bangkit. Melupakan sejenak sakit di area bawah tubuhnya, berjalan mengekor ibunya yang tak akan berhenti bernyanyi sebelum semua inginnya tuntas.
Mereka berdua duduk lesehan pinggir tangga depan meja makan. Beliau selalu makan berdua dengan Ayudia setiap malam. Sedang Pak Hanafi sudah terlelap sejak pulang dari salat berjamaah isya tadi.
"Kenapa pulangnya bisa malam sih, Yu?" cecar ibunya saat suapan ketiga baru mendarat ke dalam mulut putrinya.
"Hm ... " Ayudia bingung tak tahu harus menjawab ibunya seperti apa. Karena beliau mengizinkan dia keluar rumah dengan batas maksimal kepulangan pukul setengah lima sore.
Bu Hidayati masih menanti penjelasan putrinya.
“Aku mau pulang sejak sore, tapi aku ketiduran di kelas sampai azan isya, Bu,” jawabnya menunduk, takut jika harus bersinggungan tatap dengan ibunya.
Bu Hidayati menggeleng-gelengkan kepala mendengar penjelasan nyeleneh gadis remaja di depannya.
"Lain kali kalo udah capek, pulang ya, Yu. Jangan tidur di sekolah!" gertak ibunya sekali lagi.
Gadis itu hanya mengangguk patuh.
***
Halo, Sebaris Cinta Ayudia update lagi, nih. Seru nggak ceritanya?
Kalo seru, jangan lupa follow, vote dan komen, ya. Biar aku semangat berkarya terus!
Oh iya, aku mau bagi-bagi voucher disc 20% nih, gaes.
Kodenya Noorm01 untuk akun Karya Karsa aku: Fitria Noormala
Datang, ya! Di sana kisah ini sudah sampai Bab 10!Salam,
Author
KAMU SEDANG MEMBACA
Sebaris Cinta Ayudia
RomanceAyudia Adhisti adalah siswi SMA kelas sebelas yang mengikuti ekstrakurikuler musik di sekolahnya. Tiga bulan setelah acara pensi sekolah itu dia telat haid. Tapi, tak ada yang curiga sama sekali karena siklus haid dirinya memang tak teratur. Namun...