Dengan sisa tenaga, Ayudia mencubit pinggang lelaki yang duduk di jok depan motor miliknya.
Deon berdeham, lalu berpikir sejenak. "Ya udah, lo boleh peluk gue sekenceng-kencengnya kalo lo udah nggak kuat. Syaratnya satu aja ... jangan mati di sini!"
Ayudia yang mendengar kalimat Deon barusan rasanya ingin terbahak, tapi raganya tak kuasa. Dia hanya mampu menyenderkan kepala ke belakang punggung lelaki itu dengan lemah. Perlahan Deon menarik dua tangan gadis itu ke depan, karena beberapa kali tubuh Ayudia terasa oleng ke kiri dan ke kanan.
Setiap kali Deon bertanya letak rumah Ayudia, gadis itu hanya berbisik pelan di belakang punggung, itu pun lemah sekali, hampir tak terdengar. Deon ketakutan gadis itu akan pingsan sekarang.
Saat motor itu menepi, Ayudia sudah lunglai. Bahkan Deon dengan inisiatifnya sendiri berteriak memanggil ibu Ayudia dengan lantang dari depan pagar, "Ibunya Ayu ... Ibunya Ayu ... ini Ayu di depan."
Deon pun tak bisa bergerak dari jok depan karena mempertahankan tubuh Ayudia yang sudah gemetaran menahan sakit. Dua tangannya pun masih menggenggam erat dua tangan mungil milik gadis di belakangnya.
Bu Hidayati yang baru selesai melayani pelanggan, samar mendengar anak lelaki yang terus menyebut nama Ayu. Dengan langkah cepat, beliau berlari ke halaman. Dan ternyata putrinya sudah pucat pasi di jok belakang motor sambil memeluk paksa lelaki di depannya.
"Ya ampun, kenapa ini, Nak?" tanya Bu Hidayati kebingungan.
"Ayu udah sakit dari pas sekolah tadi, Tante," jawab Deon panik.
"Ya udah, yuk, bawa ke dalam."
Bu Hidayati dan Deon bekerja sama menggotong tubuh Ayudia yang mungil ke atas ranjang kecil di tengah rumah.
Setelah menceritakan sekelumit kisah tentang kondisi Ayudia di sekolah, Deon izin pamit. Dia teringat motornya yang ditinggalkan di parkiran sekolah.
"Makasih banyak ya, Deon." Bu Hidayati melihat anak lelaki itu menghilang bersama grab.
Dengan rasa khawatir, Bu Hidayati berjalan cepat ke arah ranjang putrinya. Gadis itu terlihat lemah dan gemetaran. Wanita baya itu mengusap kening Ayudia lembut. Di sana sudah banyak bersarang keringat dingin.
"Sudah makan siang, Nak?" tanya ibunya pelan sambil mengelap dahi putrinya yang terus mengeluarkan keringat dingin.
Ayudia menggeleng lemah, "Ng-nggak sempet, Bu," jawabnya pelan sekali. Bahkan matanya tetap terpejam.
Tanpa permintaan siapa pun, wanita berusia empat puluh tahunan lebih itu berdiri dan berjalan lelah ke arah dapur. Di sana dia membuat teh manis hangat dengan cepat. Lalu dia ke depan rumah, membawa beberapa kantong biskuit dari dagangan.
"Nak, dimakan yuk, ini camilannya. Biar ada tenaga." Ibunya mengusap kepala putrinya agar dia membuka mata.
Namun, Ayudia bergeming. Dia tak kuasa meski hanya sekadar mengangguk atau menggelengkan kepalanya saat ini.
"Kita besok ke dokter, ya, Nak." Ibunya nampak cemas sekali melihat putrinya yang baru sekarang sakit seperti ini. Biasanya hanya flu, demam atau pilek. Itu pun sangat jarang.
Namun, tiba-tiba Bu Hidayati memerhatikan Ayudia lekat. Rasanya dulu dia sendiri pernah seperti ini, tapi kapan?
Tak mungkin kan, jika Ayudia hamil?
"Yu, laki-laki yang tadi nganterin kamu itu siapa? Pacar kamu bukan?" tanya ibunya baik-baik.
"Ayu kan ng-nggak pernah punya pa-pacar, Bu," jawab putrinya dengan napas tersengal-sengal.
Semoga prasangkaku salah. Ibunya membatin.
***
Kira-kira, Ayudia kenapa, ya?
Yuk, ikuti terus kisah Sebaris Cinta Ayudia!Hai, terima kasih telah setia membaca, ya. Kalo kalian mau ngebut baca, silakan mampir ke akun karya karsa aku juga ya, di sana sudah otw bab 24 lho, hehehe.
Akun: Fitria NoormalaJangan lupa vote, komen dan follow, ya.
Salam,
Author ❤️
KAMU SEDANG MEMBACA
Sebaris Cinta Ayudia
RomanceAyudia Adhisti adalah siswi SMA kelas sebelas yang mengikuti ekstrakurikuler musik di sekolahnya. Tiga bulan setelah acara pensi sekolah itu dia telat haid. Tapi, tak ada yang curiga sama sekali karena siklus haid dirinya memang tak teratur. Namun...