Bab 7 (bagian 1)

133 6 0
                                    

Sejak pukul empat pagi Bu Hidayati sudah sibuk di dapur. Beliau menanak nasi, menggoreng ayam, tempe, lalu membuat sambal untuk sarapan keluarga kecilnya. Jika lebih dari jam itu tak akan sempat lagi, karena beliau harus menjaga warung tepat pukul enam nanti.

"Asalamualaikum," ucap Pak Hanafi sambil membuka pintu depan. Beliau baru saja pulang dari salat subuh berjamaah di masjid.

Pria itu berjalan ke depan ruang televisi dan membawa Al-Qur'an yang letaknya di atas nakas samping ranjang dan duduk bersila di atas karpet.

"Yu, bangun, Yu. Udah mau jam lima!" Bu Hidayati berteriak sambil mengaduk ayam di wajan. Suaranya menggema memenuhi rumah panjang itu.

Ayudia masih terlelap, ketika mendengar teriakan ibunya, dia malah lebih merapatkan kedua matanya kuat-kuat.

"Ayu, bangun!" Teriakan Bu Hidayati naik beberapa oktaf.

"Hoam." Gadis itu menguap sangat lebar sambil mengganti posisi berbaring menjadi duduk tegak. Dua tangannya yang lemas diregangkan sekuat tenaga. Setelah menghitung lima belas detik dalam hati, dia bangkit berdiri.

Ayudia berjalan sambil menggusur sebelah kakinya karena menahan kantuk, bahkan kuapnya masih berlanjut sampai empat kali. Ditambah rambutnya yang acak-acakan tak terjamah kerapian.

"Uhm, masak apa, Bu?" tanyanya sambil berjalan ke arah kamar mandi.

"Ketoprak!" jawab ibunya ketus. Padahal tanpa bertanya pun Ayudia paham wanita baya itu tengah menggoreng ayam dan tempe. Pertanyaan tadi hanya basa-basi keramahan khas rakyat Indonesia.

Ayudia hanya menampilkan wajah kesal karena melihat ibunya yang hobi marah-marah, padahal pagi baru saja dimulai.

"Hoek!" Gadis itu menutup mulut dengan kedua tangannya. Rasanya bau gorengan ayam itu membuat enek lambung.

"Hoek!" Mualnya kembali datang selagi dia masih berada di area yang sama dengan penggorengan.

Bu Hidayati menoleh ke arah putrinya dengan tatapan mengejek, "Tuh, kamu aja mual nyium bau sendiri, apa lagi ibu. Sana cepetan mandi!"

Ayudia tak membantah, dia melanjutkan langkahnya ke arah toilet dan menjawil handuk yang siap sedia ditarik kapan pun dibutuhkan.

Saat di dalam toilet, seiring bau menyeruak dari wajan padam, keinginan untuk mual atau pun muntah hilang.

Aneh. Pikir Ayudia.

Selesai mandi, gadis itu tergesa-gesa menaiki lantai dua. Di sana ada satu kamar kosong, tempat jemuran dan gantungan baju. Pun gantungan baju tersebut beranggotakan kemeja, gamis dan seragam yang disusun berderet agar tidak cepat kusut.

Saat langkahnya intens menaiki anak tangga satu per satu, dadanya berdetak hebat, seakan jantung memompa aliran darah berlebihan. Tiba-tiba dia merasa pusing dan lemah. 

"Hah." Napas gadis belia itu terdengar kasar. Langkah yang semula penuh ambisi kini makin melambat sesuai kemampuan. Bahkan tangan kanannya dipakai untuk menumpu tubuh dengan berpegangan ke railing tangga.

Sejak kapan naik tangga semelelahkan ini? Gerutu batinnya.

Sampai di lantai dua, tungkai gadis itu gemetar. Bukan hanya tungkai, bahkan kedua lengannya pun sama. Napasnya terengah seperti berhasil menaiki puncak gunung dengan susah payah. Terkadang, pandangannya kabur saking lelahnya.

Apa aku sakit? Salah makan? Tanyanya pada diri sendiri.

Dia mengingat hari-hari kemarin. Jadwal makannya teratur, jajan pun seperti biasa tak berlebihan. Atau karena kemarin aku melupakan membeli boba? Pikirnya terus menerka-nerka.

"Ayu!" Terdengar panggilan maut sang ibu lagi. Dia memang terlalu lama di lantai dua.

"I-iya, aku turun ke bawah sekarang," jawabnya gelagapan.

***

Halo, selamat Hari Sabtu 🤩
Sebaris Cinta Ayudia update lagi, nih.
Sebelum baca jangan lupa follow, ya. Abis baca juga jangan lupa vote dan komen 🧡🔥
Biar aku makin semangat nulis.

Buat kalian yang mau ngebut baca. Silakan kunjungi Karya Karsa aku dengan akun: Fitria Noormala, ya.
Aku update 2 bab setiap hari di sana 📌
Hari ini otw Bab 16.

Salam,

Author

Sebaris Cinta AyudiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang