Bab 2 (bagian 1)

310 10 1
                                    

Keringat demi keringat terus bercucuran dari dahi perempuan muda itu. Bu Hidayati dengan telaten mengelap keringat yang terus keluar dari pori-pori putrinya. Tak lupa mulut beliau terus berdoa pada Tuhan Yang Mahakuasa agar persalinan ini diberikan kelancaran.

Sekarang pukul sebelas malam. Ayudia telah melewati pembukaan satu sampai lengkap sedari pagi buta. Kini perjuangannya belum berakhir jua. Dia tengah mempertaruhkan nyawa demi jabang bayi yang juga tengah berjuang mencari jalan keluar.

"Allahku," ucap Ayudia parau, bulir air matanya mengiringi perjuangannya kini.

Pak Hanafi, kakek dari si jabang bayi hanya mampu membacakan selawat sambil mengelus-elus pangkal kepala putri satu-satunya itu. Pikirannya melayang memikirkan Benny yang sulit sekali dihubungi. Hati beliau membatin memikirkan nasib Ayudia yang benar-benar tragis.

Satu jam berlalu, bayi laki-laki dengan kulit putih dan hidung mancung akhirnya menatap dunia. Ada embusan napas lega dari Ayudia dan kedua orang tuanya. Dengan senyuman bangga, dokter memberikan bayi itu pada sang ibu.

"Assalamualaikum, Sholih," sapa Ayudia pertama kali.

Bayi itu hanya merespons dengan tangisan yang kuat.

"Yang mau azanin siapa?" tanya perawat pada mereka bertiga. "Ayah bayi nggak datang, ya?" lanjutnya.

Bu Hidayati, Pak Hanafi dan Ayudia saling menatap. 

"Hm, biar saya saja yang azan." Pak Hanafi berdiri di samping Ayudia. Mulut pria baya itu sedikit mendekat ke arah telinga si bayi merah.

Gerbang kehidupan baru bagi Ayudia telah terbuka. Kini dia resmi menyandang status sebagai seorang ibu.

Saat orang tuanya mulai terlelap di karpet ruang rawat di klinik. Ayudia tengah belajar menyusui sembari memandangi layar ponsel miliknya yang sepi dari chat atau telepon. Sejak dia putus sekolah satu tahun lalu, tak ada yang mau berteman dengannya lagi. Dia dicap gadis nakal penganut pergaulan bebas oleh kebanyakan orang yang memberikan pengaruh buruk.

Benny, kamu di mana? Batinnya terus bertanya.

Ayudia menatap bayi yang sekarang berada dalam pelukan. Wajahnya hampir sama dengan miliknya. Kecuali hidung dan rambut, mirip Benny.

Dia melihat riwayat chat terkirim pada Benny sejak subuh tadi, tak ada yang direspons sama sekali. Akhirnya dengan mengabaikan rasa sakit, Ayudia mengambil foto anak mereka lalu mengirimkannya pada Benny--ayah sang bayi.

Ayudia:
Anak kita sudah lahir.

Langit begitu temaram, tiba-tiba saja Ayudia berada dalam buaian malam.

Sejak pukul empat subuh, bayi merah itu sudah bangun dengan mendendangkan tangisan yang luar biasa kencang. Suaranya begitu nyaring di ruangan tujuh kelas reguler. Ayudia yang kaget langsung terjaga, dia membuka kancing atas daster, mencoba memberi asi lagi.

"Au, au, au," raung Ayudia saat mulut kecil itu mencoba mengisap puting ibunya dengan lapar.

Wajah Ayudia menggambarkan ketersiksaan luar biasa. Putingnya yang hanya disedot bayi merah, rasanya seperti tengah dikuliti tukang jagal. Perih dan membuat trauma. Itu pun sang bayi tak pernah terlihat kenyang dengan buruannya. Hal seperti ini bisa bertahan selama satu sampai dua jam.

Keringat dingin keluar dari dahinya serempak--menahan sakit. Tak disangka seseorang telaten mengelap dahi perempuan berbadan mungil tersebut menggunakan sapu tangan kuning yang memang tergeletak di samping bantal atas ranjang.

"Lho, ibu kok, bangun?" Ayudia sedikit kaget karena mendapati ibunya yang sedang berdiri di sampingnya sambil menggenggam sapu tangan berbahan handuk.

Bu Hidayati hanya tersenyum dan mengangguk. Padahal masih pukul empat pagi, tapi di sepanjang lorong ini tak pernah bisa istirahat dari "suara tangisan bayi".

Baru setengah jam selesai disusui, bayi merah itu kembali menjerit dengan histeris. Ayudia yang sejak tadi terkantuk-kantuk langsung membuka matanya lebar-lebar. Dia melihat ruangan sudah kosong. Ibu dan ayahnya tak ada lagi di atas karpet.

"Kamu mau apa, Nak?" tanya Ayudia sambil menatap dua netra putranya yang bening tanpa dosa dengan lembut.

Namun, bayi merah itu tak peduli. Dia menangis lebih kencang lagi dan lagi. Suara nyaringnya lebih tepat seakan sedang disiksa dari pada tengah menangis. Dengan badan yang remuk, perempuan belia itu memaksakan diri untuk duduk. Gelenyar perih, panas dan sakit luar biasa dirasakan dalam satu waktu. Area kewanitaannya yang kemarin malam dijahit, seperti tengah memberikan aliran listrik luar biasa sekarang.

"Ya, Tuhan!" pekiknya sambil mengeluarkan air mata.

***

Hai, hai, hai, selamat pagi. Aku kembali dengan cerita baru, nih. Mwehehehe.
Sebelum baca follow akun aku dulu, ya. Maaciw

Kalo sudah baca pun, jangan pelit vote dan komennya. 🧡🧡

Salam,

Author

Sebaris Cinta AyudiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang