Kegiatan Ayudia kini berbeda sekali dengan saat dirinya di SMK. Perempuan berusia delapan belas tahun itu sekarang sibuk belajar menyusui, belajar memasang popok, belajar menggendong Dean, belajar memandikan dan utamanya belajar sabar. Karena bagaimana pun kali pertama tak akan semahir perawat yang melakukan.
Ayudia mengangguk paham. "Terima kasih, Suster," ucapnya sambil menyunggingkan senyum.
Sejenak dia memandangi Dean yang tengah menatap langit-langit klinik tanpa ekspresi. Pupil bayi itu tak pernah membesar atau mengecil, sama saja. Itu karena makhluk kecil ini sangat sensitif dengan cahaya. Jauh atau dekat baginya sama saja. Dia hanya mampu menangkap objek paling jauh dua puluh sampai dua puluh lima sentimeter dari tatapnya. Pun hanya warna hitam, putih, atau bayangan abu-abu.
Bahkan Dean tak bisa membedakan yang dia lihat ada satu atau dua objek, syaraf di retinanya masih berkembang.
"Sehat-sehat, Sayangku," ucapnya lirih sambil mengecup kening Dean.
Bu Hidayati yang sedari tadi memerhatikan mereka berdua, tersenyum haru. Ayudia dipaksa dewasa karena keadaan. Tapi, pasti Tuhan punya rencana indah di balik semua ini.
Tubuh besar dan sekal itu bangkit dari kursi panjang samping ranjang bayi, langkahnya pelan menghampiri perempuan muda yang tengah membereskan popok ke dalam tas besar miliknya. Berantakan saat mengikuti tutorial suster memasang popok Dean tadi.
"Ayu ... ibu kalo pulang sebentar boleh?" tanya ibunya lembut.
Ayudia menoleh, ada penolakan di balik retina cokelatnya dengan tegas. Tapi, bukankah dia terlalu egois jika mengurung ibunya terus di ruangan kecil nan sempit ini?
"Sebentar aja, Nak. Ibu mau nyuci itu." Beliau menunjuk plastik putih yang membuntal besar di pojok dekat pintu. Di sana menumpuk pakaian Ayudia bekas melahirkan yang bercucuran darah dan ketuban. Jika plastik itu dibuka, bau anyir pasti menyeruak. Pun bila dibiarkan lama, khawatir semakin sulit dibersihkan.
"Nggak bisa di-loundry aja, Bu?" Ayudia mulai merajuk, kentara sekali tak ingin ditinggalkan.
Ada sunggingan kecil di sudut bibir Bu Hidayati. "Siapa yang mau nerima loundry penuh darah bau anyir gini, Nak?"
Dengusan napas kasar keluar dari hidung Ayudia. Matanya enggan bertemu tatap dengan sang ibu. Dia memikirkan hanya berdua di klinik bersama Dean bukanlah hal bagus.
"Tapi, aku lapar, Bu." Rengeknya lagi. Apa saja dia lontarkan agar ibunya tak jadi pulang.
"Iya, iya, ibu belikan nasi ke luar. Tunggu sebentar, ya." Bu Hidayati melenggang pergi. Beliau memutar kenop pintu dan menghilang di lorong klinik, bersatu dengan hilir mudik pasien, perawat dan dokter.
Lima menit setelah kepergian Bu Hidayati, terdengar derap langkah seseorang mendekati ruangan hunian Ayudia dan Dean. Kenop pintu tiba-tiba berputar searah jarum jam dan menampakkan sosok di baliknya, Benny.
Ada kecamuk rasa benci dan lega menjalar dalam aliran darah perempuan muda itu. Akhirnya Benny datang, dia akhirnya peduli terhadap Dean, putra pertama mereka.
Laki-laki yang memiliki postur tubuh kurus dengan tinggi 170 sentimeter, hidung sangat mancung, mata agak sipit dan di salah satu telinganya di pasangi anting itu berdiri tegap di hadapan Ayudia. Matanya nyalang mengitari ruangan klinik yang sempit. Langkahnya senga berjalan perlahan ke arah Dean.
"Ganteng ya, anaknya," komentar Benny setelah dia diam beberapa menit sejak tadi.
Ayudia mengangguk senang. Dua sudut bibirnya menyunggingkan senyum. "Namanya Dean ... Dean Fahaz. Bagus 'kan?"
***
Halo, selamat pagi. Selamat menjalankan puasa di hari-hari terakhir, yaa.
Buat kalian, tolong sebelum baca di-follow dulu, ya. Btw aku penulis baru nih, jadi follow-an, vote dan komen kalian sangat berarti banget buat aku 💙💙Salam,
Author
KAMU SEDANG MEMBACA
Sebaris Cinta Ayudia
RomanceAyudia Adhisti adalah siswi SMA kelas sebelas yang mengikuti ekstrakurikuler musik di sekolahnya. Tiga bulan setelah acara pensi sekolah itu dia telat haid. Tapi, tak ada yang curiga sama sekali karena siklus haid dirinya memang tak teratur. Namun...