Langkah Ayudia mengendap-endap ketika sampai di depan rumah. Dari jauh, terlihat Bu Hidayati sedang duduk di atas kursi plastik memasang wajah tak ramah sambil melihat ponsel berkali-kali, pasti menunggu balasan pesan putrinya. Beliau tengah menjaga warung seperti biasa. Dan memantau dengan sengit, kenapa gadis satu-satunya itu belum pulang?
"Asalamualaikum," ucap Ayudia diiringi cengiran kuda.
Ibunya segera menoleh dengan tatapan ganas.
"Jam berapa ini?" tanyanya berteriak dari tengah-tengah barang dagangan.
Ayudia tak berani menoleh apa lagi menatap balik wanita baya di depannya. Langkahnya berhenti mematung di sana. Dua tangan kecil nan mulus miliknya menggantung saling berkaitan di depan perut. Keringat dingin mulai keluar dari sela-sela pori dengan gencar.
"Masuk!" perintah ibunya lagi dengan nada yang semakin naik.
"I-iya, Bu," jawab gadis itu gemetaran.
Langkahnya masih kaku saat melewati ibunya yang sama sekali tak melepaskan pandangan atas dirinya. Beliau sangat geram saat putri tunggalnya melewati jam disiplin yang telah ditetapkan olehnya.
"Langsung mandi!" omel ibunya lagi saat punggung sang gadis tepat berada di depan kornea mata.
Sekali lagi Ayudia mengangguk sambil menunduk. Saat ibunya hendak memaki lagi, seorang pemuda mengucapkan salam di balik pintu. Cercaan itu urung dicetuskan, beliau memilih mengambil jeda dan melayani pelanggan dengan ramah.
Ayudia yang sadar ada celah untuk selamat, mengambil langkah seribu menuju kamarnya.
"Hah." Napas lega keluar dari rongga mulutnya.
Sekejap dia merebahkan seluruh tubuh di atas kasur busa tanpa dipan yang bersebelahan dengan kasur milik orang tuanya. Dua kamar sederhana itu hanya dipisahkan gorden biru motif bunga-bunga, persis seperti pembatas pasien di rumah sakit kelas satu atau dua.
"Ayu mandi!" Terdengar suara menggema lagi dari balik deretan daganga di ruang depan. Ibunya sadar gadis itu belum masuk ke dalam toilet.
Gadis yang baru saja berbaring kurang dari dua menit, kembali menegakkan tubuh mungilnya. Dia beringsut lelah ke kanan ranjang, di sana ada lemari plastik berwarna merah bergambar minni mouse yang berisi pakaian dan dalaman khas perempuan.
Dengan rasa lelah yang menumpuk, Ayudia berjalan malas ke arah toilet di ujung bagian rumah ini. Tak lupa tangannya menjawil handuk di jemuran kecil depan kamar mandi. Di sana berderet tiga handuk besar miliknya, Ibu Hidayati dan Pak Hanafi.
Tepat setelah pintu toilet terkunci, perlahan dia melucuti kaos dan bra yang menempel. Dua kain itu baunya sudah tak karuan. Seperti kumpulan keringat dan persatuan daki sejak pagi buta sampai isya menjelang.
"Haish," gumamnya pelan sambil melemparkannya ke keranjang cucian di area toilet sebelah kanan.
Kemudian tangannya beralih menurunkan ritsleting celana jeans sampai ke mata kaki sebelum ditarik paksa agar lepas seluruhnya. Pori-pori kakinya seperti bernapas lega sekarang. Kain tebal itu sudah bukan bagian dari tubuhnya sekarang, bahkan sedang berkumpul dengan kain-kain berbau tak karuan di dalam keranjang sebelah sana.
Terakhir, saat celana dalam berwarna putih milik gadis itu diturunkan, pupil mata Ayudia membesar. Dia membawa celana dalam itu naik tepat ke depan wajahnya.
Di sana ada bercak darah yang lumayan banyak. Warnanya merah tapi tidak pekat, cenderung merah muda.
Aku haid lagi? Tanyanya dalam hati.
Padahal gadis itu baru saja selesai datang bulan tujuh hari yang lalu.
***
Halo-halo. Sebelum baca jangan lupa follow aku dulu ya. Setelah baca, jangan lupa tinggalkan jejak dengan vote atau komen! Karena itu berarti banget buat penulis baru kayak aku gini ~
Oh, bagi kalian yang suka ngebut baca, Sebaris Cinta Ayudia juga update di Karya Karsa lho. Di sana siang ini sudah Bab 8 😘🙏
Gunakan voucher Noorm01 agar dapat disc 20%
Akun: Fitria NoormalaSalam,
Author
KAMU SEDANG MEMBACA
Sebaris Cinta Ayudia
RomanceAyudia Adhisti adalah siswi SMA kelas sebelas yang mengikuti ekstrakurikuler musik di sekolahnya. Tiga bulan setelah acara pensi sekolah itu dia telat haid. Tapi, tak ada yang curiga sama sekali karena siklus haid dirinya memang tak teratur. Namun...