"Loh emang beritanya udah keluar?" Amu melirik Kiki yang tengah berbincang dengan seseorang via telepon. "Ya beneran lah, Ma. Masa bohong?"
"Ini aku lagi bareng dia juga sih, Ma." Tatapan Kiki yang tiba-tiba mengarah pada Amu membuat keduanya bertemu pandang untuk sesaat. "Hm? Iyaa aku coba mintain. Btw, aku nanti pulang sendiri ya, Ma. Enzo sama Upi nggak bisa ikut soalnya."
"Okee. I love you, Mom." Setelah itu Kiki mengakhiri panggilannya dan meletakkan ponsel di atas meja.
"Kenapa? Kok kayak ngomongin gue?" tanya Amu.
"Berita soal kolaborasi kita udah dirilis, jadi Mama nelepon buat mastiin. Terus Mama mau minta tanda tangan lo," jawab Kiki. "Lo emang seterkenal itu ya?"
"Itu pujian? Kok gue berasa diremehin?"
Kiki mendengus geli.
"Pujian kok, beneran. Gue kagum aja pasar lo rangenya segede itu. Bahkan sampai Mama gue juga ngefans sama lo. Lo sejak kapan mulai jadi ilustrator gitu?" tanya Kiki.
"Semester kedua kuliah. Gue coba buka usaha commission gambar buat ngalihin stress karena jurusan kuliah. Dan ternyata laris banget, dari situ juga gue nerima e-mail dari penerbit-penerbit yang nawarin gue jadi ilustrator dari terbitan mereka." Amu mengulas senyum simpul, mengingat memang bukan hal mudah untuknya memutuskan menerima tawaran itu. Ada hal yang harus ia korbankan, yaitu jurusan kuliah yang sangat didambakan oleh ibunya. "Terus habis itu gue ambil deh jobnya."
"Lo suka ngelukis di kanvas juga? Yang kemarin-kemarin lo kasih ke gue itu jauh bedanya sama gambar digital lo."
Amu mengangguk antusias.
"Gue mau challenge diri gue sih. Biar nggak mentok di artstyle yang sama. Ternyata gambar digital sama di kanvas bener-bener beda feelnya." Amu menatap jari-jemarinya. "Gini ya rasanya kalau ngelakuin hal yang kita sukain? It feels like breathing. Emang ada beberapa waktu gue ngerasa capek dan mau nyerah, tapi gue selalu inget kalau ini tuh mimpi gue dan cuma gue sendiri yang bisa merjuangin."
Kiki refleks menarik kedua sudut bibirnya saat melihat binar di mata Amu. Gadis itu terlihat sangat mencintai pekerjaannya, membuat semangat lelaki berambut biru itu menjadi lebih hidup untuk menyelesaikan albumnya.
"Anyway, ini udah selesai kan? Atau ada yang mau dibicarain lagi?" Amu menutup layar laptopnya di meja.
"Lo mau ketemu Mama gue?"
"Hah?" Amu menoleh cepat, tak menyangka akan pertanyaan yang satu itu. "Gimana, Ki?"
Kiki mengerjapkan matanya.
"Apa?" Lelaki itu justru bertanya balik. Amu mengerutkan keningnya. "Gue tadi bilang apa emangnya?"
"Lo ... tanya gue mau nggak ketemu sama Mama lo."
"Hah? Gue nanya gitu?"
Amu memutar bola matanya.
"Kasihan, masih muda udah pikun," ejeknya. "Ya udah gue pulang duluan ya. Kalau ada konsep yang tiba-tiba mau lo ubah langsung chat aja. Tapi langsung to the point, gue males basa-basi."
Amu sudah memasukkan barang-barangnya ke tas yang ia bawa dan sudah akan beranjak saat Kiki mengajukan pertanyaan lagi.
"Wait, Amu, yang ini serius. Lo mau ketemu sama Mama gue?"
[•]
"Kok rasanya ada yang ngefoto kamu ya tadi?" tanya Upi saat keduanya sudah menempatkan diri di salah satu meja dalam restoran pizza tersebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
TAOKI [WEE!!!]
Fanfiction"Senang bertemu dengan Anda, Bapak Tukiem." "It's Taoki, not Tukiem." Hiatusnya seorang superstar membuat ia berjumpa dengan ilustrator terkenal yang tak pernah sekalipun menampakkan wajahnya di depan publik. "Tukiem sounds better." "Whatever." Hid...