"Padahal waktu itu aku udah kepikiran mau kabur yang jauh aja daripada jadi beban buat orang-orang di sekitarku. Tapi omongan kamu buat aku sadar kalau ada banyak orang yang peduli sama aku dan nungguin aku buat nerima kehadiran mereka." Kiki melebarkan senyumnya. "Aku masih simpen gambar itu loh."
Amu melebarkan matanya.
"Serius? Kamu simpen di mana?" Tanpa sadar Amu sudah mengubah gaya bicaranya kepada Kiki.
"Aku masukin pigura terus aku gantung di dinding kamar," jawab Kiki. "Makasih ya ... udah datengin stranger yang kena panic attack itu, ngajakin dia naik bianglala, nyuruh dia ngeluapin emosi di kertas, dan ngasih semangat buat dia."
Masih segar dalam ingatan Kiki bagaimana setelahnya Amu ikut menggurat pensilnya untuk mempercantik hasil karya mereka itu.
"Kalau bukan karena kamu, mungkin stranger itu nggak bakal ada di bianglala ini dan ceritain pertemuan pertama mereka ke penyelamatnya." Amu tak mampu mengalihkan pandangannya dari sepasang mata di depannya yang menatap ia lembut. "At that night, your art and your whole existence saved me."
Dulu saat SMA, Amu bukanlah seseorang yang menonjol. Terbiasa disetir oleh Ibu membuatnya tak ingin keluar dari jalur yang sudah disiapkan untuknya. Ia tak ikut organisasi, kepanitiaan, bahkan ekstra pun ia hanya mengikuti ekstra wajibnya saja. Waktunya banyak ia habiskan untuk belajar. Agar ia bisa masuk kedokteran. Agar ia bisa membuat Ibunya bahagia.
Satu-satunya hal yang membuat ia bertahan kala itu adalah dengan menggambar. Pada jam istirahat, ia akan menghabiskan waktu di kelas untuk menuangkan segalanya melalui guratan pensil di tangan. Hanya saat itu lah ia merasa ... bahwa ia masih memiliki kendali atas dirinya sendiri. Bahwa ia memiliki banyak imajinasi dalam kepala, yang kemudian ia tuangkan dalam gambarannya.
Faktanya, menggambar adalah upaya Amu untuk menyelamatkan diri dari kenyataan hidupnya.
Lalu sekarang saat Kiki mengatakan bahwa gambarnya juga menyelamatkan lelaki itu ... entahlah, Amu tak dapat mendeskripsikan betapa rumit emosinya kini. Ia bahagia, sungguh. Tapi mengapa kemudian air matanya mengalir tanpa dapat dicegah? Amu menemukan keterkejutan dari mata Kiki kemudian. Gadis itu mengusap air matanya dengan punggung tangan lalu mengulas senyumnya.
"Dua tahun," kata Amu tiba-tiba. Kiki mengangkat kedua alisnya, tak mengerti. "Kasih aku waktu maksimal dua tahun untuk buat pameran lukisanku, setelah itu aku bakal terima lamaran kamu. Tapi kalau kamu keberatan nunggu selama itu, kita bisa selesaiin semuanya sekarang. Aku nggak bakal tahan kamu buat pergi," lanjutnya sembari mengepalkan kedua tangan di atas pahanya.
Kalau boleh jujur, Amu tak ingin Kiki pergi. Tapi dua tahun adalah waktu yang cukup apabila lelaki itu bertemu dan jatuh cinta dengan seorang gadis. Jadi apa haknya untuk melarang?
"Dua tahun?" ulang Kiki. Ia terdiam sejenak. "Deal."
Amu mengerjapkan matanya.
"Aku bakal nungguin kamu," ucap Kiki. "Padahal aku pikir kamu baru mau nikah di umur tiga puluh nanti." Lelaki itu mendengkus geli.
"Kalau dua tahun doang sih kecil," ujarnya. "Aku juga mau ngehabisin sisa waktu itu sebagai Taoki."
"Tunggu ... kamu beneran mau berhenti nyanyi?" tanya Amu. "Kenapa?"
"Nggak berhenti sepenuhnya sih. Aku mau jadi produser dan kerja di balik layar aja. Bertahun-tahun tampil di panggung buat aku nggak punya privasi. Plusnya aku bisa ketemu fans secara langsung, minusnya ya ... direcokin wartawan terus." Kiki berterus-terang. "Belakangan aku mikir, mungkin ini waktunya aku berhenti. Aku tetap bisa berkarya tanpa harus nunjukin diri, kayak kamu."
KAMU SEDANG MEMBACA
TAOKI [WEE!!!]
Fanfiction"Senang bertemu dengan Anda, Bapak Tukiem." "It's Taoki, not Tukiem." Hiatusnya seorang superstar membuat ia berjumpa dengan ilustrator terkenal yang tak pernah sekalipun menampakkan wajahnya di depan publik. "Tukiem sounds better." "Whatever." Hid...