17 | Memperjuangkan Perasaan

361 58 2
                                    

"Gue udah boleh balik badan belum?" tanya Kiki setelah ia tak lagi mendengar isakan Amu.

"Jangan ... Gue malu ...." jawab Amu dengan suara serak khas orang yang habis menangis. Kiki tersenyum geli. Entah mengapa situasi ini terasa lucu baginya.

"Ya udah gue nggak bakal balik badan. Tapi lo harus jawab jujur pertanyaan gue. Oke?" Kiki tak mendengar jawaban. "Oke, Amu?" tanyanya lagi mengulang.

"Oke ...." balas Amu akhirnya. Ya sudahlah, sepertinya dia memang tidak berbakat menyembunyikan apapun. Terlebih dari lelaki keras kepala yang menjulang tinggi di depannya ini.

"Kenapa lo mau putusin kontrak kita? Apa lo semarah itu sampai nggak mau berhubungan sama gue lagi?"

Bukan. Tentu saja bukan. Meskipun ia marah, pemutusan kontrak adalah hal terakhir yang ingin ia lakukan. Karena terlepas dari urusan hatinya dengan Kiki, ia mendapat banyak pengalaman baru selama bekerja bersama lelaki itu. Bahkan ia bisa melihat sendiri proses menggarap animasi dari ilustrasinya. Jadi mana mungkin Amu melepaskan kesempatan emas ini dengan mudah?

"Gue disuruh pulang sama Ibu," kata Amu pelan. Baiklah, jangan sampai ada kesalahpahaman di antara mereka. Lebih baik ia menceritakan yang sejujurnya. "Lo tau kenapa gue nyembunyiin identitas gue sebagai ilustrator, Ki? Itu karena gue nggak mau Ibu gue tau. Beliau bukan seseorang yang ngedukung hobi ngegambar gue. Ibu punya mimpi dan harapannya sendiri, yaitu ngebuat gue jadi dokter."

"Gue berhasil masuk kedokteran, tapi waktu itu adalah yang terburuk. Gue berkali-kali masuk rumah sakit karena kondisi gue sering ngedrop. Makanya gue memutuskan buat keluar tanpa sepengetahuan Ibu ...." Amu menjeda ceritanya dengan hembusan napas berat. "Tapi tadi waktu Ibu datang Ibu bilang ...."

"Ibu tahu kamu udah keluar dari kedokteran. Ibu juga tahu kamu selama ini jadi ilustrator. Ibu nggak masalah sama semua itu, tapi sekarang Ibu cuma mau kamu pulang. Putusin kontrak kamu sama artis itu malam ini dan kita pulang besok."

Setelah itu hening, Amu mengangkat wajahnya untuk menatap punggung kepunyaan Kiki. Hal itu tak berlangsung lama sebab Kiki kemudian membalikkan badannya tiba-tiba hingga ia tak sempat menghindarkan tatapannya.

"Jadi lo maunya gimana? Tetep stay di sini atau pulang?" Pertanyaan itu tidak menuntut. Kiki sungguh-sungguh ingin tahu perasaannya.

"Gue nggak mau pulang dulu. Masih  banyak hal yang pengen gue lakuin di sini, Ki." Amu menjawab jujur. "Dari dulu gue nggak pernah ngelawan Ibu, jadi yang bisa gue lakuin tadi cuma ngeiyain apapun yang Ibu bilang. Termasuk soal pulang." Pandangannya kemudian jatuh pada sandal berbulunya yang ia kenakan.

"Amu." Entah sejak kapan Amu mulai merasakan ada yang berbeda saat Kiki memanggil namanya dengan lembut. Ia mendongak untuk menatap lurus ke arah Kiki, berusaha mencari kepura-puraan di dalam sana. Namun yang Amu temukan hanyalah sorot mata penuh ketulusan. "Besok pagi gue ke sini. Kita perjuangin bareng-bareng ya? Kalau lo nggak bisa, biar gue yang ngomong ke Ibu."

Mengapa Kiki sekeras kepala itu mempertahankannya? Memang apa sih istimewanya dia? Karena ia penyelamat Kiki? Hah, Amu bahkan tak ingat kejadian di masa lalunya yang membuat Kiki melabelinya seperti itu.

"Kenapa lo sepeduli itu sama gue?" Tentu saja Amu merasa terusik. Belum pernah ada orang yang menahan kepergiannya seperti yang Kiki lakukan sekarang. "Karena gue penyelamat lo?"

"Because I have a feelings for you, remember?" Kiki tersenyum lembut. "Defending my loved one is just a bare minimum. Jadi nggak usah mikir yang macem-macem dan istirahat sekarang. Gue bakal balik kalau lo udah masuk rumah."

Bukankah itu tidak masuk akal? Sekeras apapun Amu mencoba memikirkannya, konsep cinta masih terasa asing untuknya. Bahkan hingga gadis itu menarik selimut ke ujung dagu setelah membaringkan badannya di tempat tidur, ia belum bisa memejamkan matanya.

TAOKI [WEE!!!]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang