Amu mengerjapkan matanya kala merasakan genggaman hangat pada kedua tangannya. Ia mendapati iris mata biru di hadapannya ini tengah menatapnya lembut.
"Kamu nggak papa, Sayang?"
"Nggak papa kok, Tante. Cuma ngelamun dikit tadi."
Lebih tepatnya ia merenungi ketidaktegasannya menolak ajakan Kiki untuk ke rumahnya tadi. Padahal ia sudah memantapkan hati bahwa ia tak akan berkunjung lagi kalau tidak ada Upi. Tapi memang sialan Kiki yang memberitahu Mama kalau sedang bersama dirinya sehingga wanita itu meminta agar Amu mampir ke rumah.
"Kok manggil Tante lagi sih?" Wanita di hadapannya menggeleng tak suka. "Panggilnya Mama aja. Temennya Upi berarti anak Mama juga."
Amu bukanlah seseorang yang menyukai physical touch. Bahkan walau Upi kerap kali memeluk atau menggandengnya, Amu akan merasa risi dan berusaha melepaskan diri dengan cepat. Namun entah mengapa genggaman tangan ini memberinya kenyamanan. Ada sesuatu yang hangat menjalar di hatinya.
"Sebenernya Mama mau ngucapin makasih ke kamu." Amu mendengarkannya dalam diam. "Kiki pasti udah pernah cerita ke kamu tentang masa lalunya kan?" Melihat Amu yang mengangguk perlahan membuat Mama menarik kedua sudut bibirnya.
"Dua tahun kemarin bukan waktu yang mudah buat Mama. Waktu Mama lihat Kiki mengurung diri dan membatasi kontak sama siapapun ... itu menyakitkan. Tiap hari yang bisa Mama lakukan cuma berdoa dan memperhatikan Kiki supaya Kiki tahu kalau dia nggak sendiri." Amu dapat melihat mata Mama yang terlihat berkaca-kaca. "Sampai suatu hari Kiki menghilang dalam satu malam. Mama udah lapor polisi tapi harus tunggu 1x24 jam dulu. Mama bener-bener takut waktu itu."
"Paginya sebelum Mama ke kantor polisi lagi, Kiki pulang dan langsung peluk Mama. Itu pertama kalinya Kiki nggak memasang topeng apapun di depan Mama. Dia nangis dan minta maaf karena udah ngebuat Mama khawatir."
"Maaf, Ma. Maaf aku terlalu lemah dan hampir ngelupain Mama yang selalu ada buat aku. I promise I won't go anywhere after this. I would never leave you, Ma. I promise."
Masih terpatri dalam ingatannya akan tangisan Kiki dengan suara dan tubuhnya yang gemetar.
"Setelah itu Kiki akhirnya mau Mama buatkan janji dengan psikolog dan dia pelan-pelan belajar bangkit lagi."
"Boleh Mama tahu ke mana kamu pergi malam itu?"
"I meet my savior. Thanks to her for stopping me from my stupid decision at that night."
"Dan penyelamat yang dimaksud Kiki itu adalah kamu, Sayang." Amu tak dapat menyembunyikan raut bingungnya. "Kiki memang nggak pernah cerita. Tapi setelahnya Mama lihat dia beli buku anak-anak dengan nama ilustrator yang sama. Kamu bisa tebak siapa ilustrator itu?" Mama tersenyum dan mengelus puncak kepala Amu.
"Terima kasih ya sudah menyelamatkan Kiki dan membuat Mama nggak merasakan kehilangan lagi. Mama nggak tahu dengan cara apa Mama bisa berterima kasih ke kamu. Jadi kalau kamu butuh bantuan, apapun itu, kamu bisa datang ke Mama. Rumah ini akan selalu terbuka untuk kamu."
[•]
"Tadi ngobrol apa aja selama gue pergi?" tanya Kiki menyelidik. "Mama nggak cerita yang aneh-aneh kan?"
Alih-alih menjawab, Amu justru hanya menatap Kiki yang kemudian menghentikan langkahnya dan menghadap sepenuhnya kepada Amu. Lelaki yang tengah mengenakan hoodie hitam ini tampak begitu menawan di bawah sinar rembulan. Amu tidak heran mengingat separuh lebih fandom Kiki didominasi oleh kaum hawa. Visual lelaki di hadapannya ini memang tak punya cela, bohong kalau Amu mengatakan sebaliknya. Dan entah sejak kapan ... Kiki menatapnya dengan cara yang berbeda.
KAMU SEDANG MEMBACA
TAOKI [WEE!!!]
Fanfiction"Senang bertemu dengan Anda, Bapak Tukiem." "It's Taoki, not Tukiem." Hiatusnya seorang superstar membuat ia berjumpa dengan ilustrator terkenal yang tak pernah sekalipun menampakkan wajahnya di depan publik. "Tukiem sounds better." "Whatever." Hid...