23 | Terperangkap

356 58 8
                                    

Televisi di ruang tengah itu sudah menyala sejak tiga puluh menit lalu. Namun alih-alih menontonnya, si pemilik justru sibuk berkutat dengan pikirannya seraya merebahkan diri di sofa. Iris mata merah milik gadis itu bergerak perlahan ke arah ponselnya yang ia letakkan di atas meja. Ia bangkit lalu menyalakan layar ponsel untuk mengecek notifikasi. Nihil, tak ada pesan masuk dari seseorang yang ia harapkan.

Gadis berambut merah itu mengerang kesal lalu meletakkan ponselnya di sofa, setengah membanting lebih tepatnya. Ia menyesali keputusannya untuk mengirim pesan pada lelaki berambut biru yang memenuhi kepalanya beberapa hari terakhir ini. Jangankan dibaca, terkirim pun tidak. Pesan yang ia kirimkan hanya berakhir dengan centang satu.

"Lagian ngapain sih lo sok-sok kirim chat?!" marahnya pada diri sendiri. "Apa HPnya dibawa Upi ya ....?"

Kemarin Amu memang sempat bertukar pesan dengan Upi untuk menanyakan kabar Kiki. Hal itu pun ia lakukan setelah berpikir selama semalam penuh. Iya, sebesar itu rasa gengsinya. Upi berkata bahwa Kiki tak pernah keluar kamar sejak hari itu. Upi pun hanya mengunjungi kamar Kiki untuk mengantar dan mengambil piring makanan.

Biip! Biip!

Amu tersadar dari lamunannya. Siapa gerangan yang mendatangi rumahnya malam-malam begini? Karena kemungkinannya hanya Enzo, Upi, atau ....

"Kiki," gumamnya.

Setelah mengenakan kerudung, Amu berjalan cepat untuk membuka pintu rumah sembari membawa ponsel di tangan kanannya. Yang pertama tertangkap dalam pandangannya adalah punggung seorang lelaki dengan kepala yang tertutup oleh tudung hoodie. Tanpa melihat wajahnya pun Amu langsung dapat mengenali dari postur tubuh jangkungnya.

"Kenapa ke sini?"

Lelaki dengan hoodie abu-abu itu membalikkan badannya. Tangannya terangkat untuk melepas masker yang ia kenakan, kemudian seulas senyum hangat ia tampilkan di wajahnya seraya berkata, "Karena aku tahu kamu kangen sama aku."

Hah.

Amu tak dapat menahan raut wajah penuh hujatan yang membuat Kiki tertawa kecil melihatnya.

"I miss you too, Amu." Rupanya selain senyum Kiki, kali ini Amu menemukan bagian favoritnya dari wajah lelaki itu. Tak lain adalah iris mata biru Kiki yang tak henti menatapnya dengan sorot berbinar. Amu berdeham, berusaha tidak menampakkan salah tingkahnya.

"Lo ... dianter siapa?" tanya Amu berusaha mengalihkan pembicaraan. Ia melongok ke balik punggung Kiki dan tidak menemukan adanya kendaraan terparkir. "Enzo sama Upi mana?"

"Aku kabur," jawabnya ringan. "Mungkin bentar lagi ada telepon masuk di HP kamu."

"Lo gila?!" seru Amu tak habis pikir.

"Aku mau ajak kamu ke suatu tempat," ujar Kiki tenang. "Tempat kita pertama kali ketemu." Amu tertegun mendengarnya.

Percakapan itu lalu terjeda akibat ponsel Amu yang bergetar menampilkan panggilan masuk dari Upi. Amu melempar lirikan sinis yang hanya dibalas cengiran oleh Kiki. Mau tak mau Amu pun mengangkatnya.

"Amu lo lihat Kiki nggak?! Gue barusan mau nganter makanan tapi dia nggak ada di kamarnya!" Tanpa mengucap salam, Upi sudah heboh sendiri di seberang sana.

Malas menjawab, Amu mengalihkan panggilan suara itu ke panggilan video lalu mengarahkan kamera depannya ke arah Kiki setelah mengaktifkan loudspeaker.

"HEH SETAN NGAPAIN LO DI SITU?! BALIK SEKARANG ATAU GUE SERET LO DARI SANA!" gertak Upi begitu melihat Kiki tak menampilkan raut bersalah walaupun telah membuatnya panik.

"Ada hal penting yang mau gue omongin sama Amu. Bisa nggak lo kasih gue dua-nggak, satu setengah jam deh, buat pergi ke suatu tempat? Gue janji bakal hati-hati biar nggak ada yang ngenalin gue sama Amu," pinta Kiki setengah memohon. "Gue juga janji habis itu gue langsung balik dan bakal nurut sama apa pun yang lo sama Enzo mau. Tolong, Pi, sekali ini aja bantu gue ya?" Upi terdengar mengembuskan napas berat.

TAOKI [WEE!!!]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang