Aku memandang STAR GOLD tiket ini dengan mata berkaca. Perjuanganku ke 10 kali akhirnya berbuah manis. Ya. Bukan hal baru lagi, dan mungkin semua orang yang mengenalku sudah tahu bahwa aku adalah orang yang paling bertekat dan keukeh untuk menjadi Kontestan dari ajang Pencarian Bakat di salah satu televisi nasional.
Dari semenjak aku berusia 11 tahun. Aku ingat betul, saat itu aku ingin sekali menjadi Juara BINTANG KECIL, sebuah acara Ajang Menyanyi Anak-anak. Suaraku memang belum matang. Aku belum bisa bernyanyi dengan indah. Yang kutahu dan kuyakini aku suka menyanyi. Dan aku cukup percaya diri akan lolos dengan 1 modal itu.
"Kakak kira kamu harus berlatih lagi. Mohon maaf ya." Ucap salah satu juri kala itu.
Aku menangis. Sebuah kegagalan ternyata menyakitkan.
Selama 3 hari aku malas makan. Ayah tentu bingung. Beliau tak menyangka aku akan separah dan seputus asa ini. Ayah setiap hari menyuapiku 10 kali. Ya. Sepagi 4 kali, sesore 4 kali, malam 2 kali. Kenapa? Karena sekali makan aku hanya mau menelan 1-2 suap. Setelah itu, sudah. Aku benar-benar tidak mau membuka mulut.
Hingga suatu sore ayah masuk ke kamar. Menyuruhku segera bersiap-siap.
"Ayo berangkat. Lesnya masuk jam 3."
"Les apa? Aku lagi nggak pengen kemana- mana Yah."
Ayahku memukul pahaku gemas. "Ayah sudah mendaftarkanmu les bernyanyi. Ayo cepet siap-siap. Ayah ndak mau telat."
"Les nyanyi?" Aku yang semula telentang malas, bangkit seketika. "Les di mana??"
"Mr Solasido. Kata temen ayah, orangnya sudah berpengalaman jadi guru nyanyi."
Aku memandang ayah dengan haru. Aku tidak menyangka orangtuaku, terutama ayahku akan mendukung cita-citaku sampai seperti ini.
"Udah. Cepet siap-siap. Ayah tunggu di depan."
Ayah keluar kamar. Aku meloncat dari kasur. Berlari ke kamar mandi. Sama seperti ayah, aku tidak mau terlambat di hari pertama aku les bernyanyi.
Antusiasku saat itu ternyata tidak serta merta mengabulkan doaku. Kali kedua aku mengikuti audisi BINTANG KECIL, langkahku terhenti di babak penyisihan 10 besar. Ternyata ada banyak yang lebih baik dan lebih berbakat dariku.
"Aku belum menemukan aura bintang dari kamu. Tetap Semangat." Juri yang 1 tahun lalu berkata "No" untukku, kembali berhasil memangkas mimpiku.
Aku kembali giat berlatih. Tak putus asa seperti kemarin. Kenapa? Karena di saat aku mulai bersedih, ayah lebih dulu mengatakan padaku tentang filosofi Kintsugi, bahwa bahkan untuk sebuah keramik yang pecah, bukan berarti keramik tersebut tidak indah lagi. Dia hanya perlu sedikit "sentuhan" agar kembali utuh dan menjadi karya seni baru yang indah.
"Kamu juga gitu Sav, walaupun saat ini kamu gagal mencapai hal yang kamu impikan, bukan berarti kamu gagal untuk selamanya. Jika kamu yakin dan percaya kamu bisa melakukannya, ayah yakin kamu pasti bisa! Yuk, kita perbaiki sama-sama sesuatu yang belum kamu maksimalkan sebelumnya. Inget gagal saat ini bukan berarti kamu "buruk", tapi kamu perlu memperbaiki diri. Dalam memperbaiki diri juga nggak bisa instan, kamu harus sabar."
Aku mengangguk. Dengan semangat baru aku memutuskan menambah jam les ku, yang semula 2 kali seminggu menjadi 4 kali seminggu. Seperti yang ayah katakan, aku hanya harus berusaha lebih keras lagi. Aku tidak akan menyerah.
Bahkan saat aku gagal untuk keenam kalinya. Aku masih mempunyai cukup semangat untuk kembali berjuang di tahun depannya. Ya. Sekeras kepala itulah aku akan mimpiku.
Selaras dengan itu, ada hal haru yang aku dapatkan dari ayah. Tanpa pernah aku duga, ayah ternyata diam-diam menyiapkan 1 ruangan khusus untukku berlatih alat musik. Aku masih ingat tangis sesenggukku saat melihat gitar dan keyboard yang ayah belikan khusus untukku.
Ayah, bukankah ini berlebihan?
Ayah menjawab dengan gelengan kepala dan bening haru di sudut matanya.
Jujur aku bahagia, tapi bersamaan itu seperti ada sebongkah batu tak kasat mata bertengger di pundakku. Harapan ayah tiba-tiba membuatku takut jika nanti aku hanya akan membuatnya kecewa.
<<>>
KAMU SEDANG MEMBACA
IDOLS IN LOVE
Fiction généraleAku tidak tahu kehidupan yang dulu selalu aku aminkah disetiap sujudku, akan terasa begitu rumit saat ini. Perjuangan yang dulu selalu aku optimiskan pelan-pelan merangkak ke titik pesimis. Cacian, makian, tekanan yang dulu selalu aku entengkan, mul...