Aku membuka mata dengan perasaan terkejut. Perasaan seperti 'Gimana ini aku terlambat' dan rasa khawatir yang membuat kamu tergopoh-gopoh. Aku meloncat dari kasur. Berteriak kepada Nana yang tega-teganya tidak membangunkanku. Apalagi aku sadar jam di dinding kamar sudah menunjukkan pukul 06.45 wib.
"Apa sih berisik banget lo Sav!" Nana menoleh dengan begitu santai. Gadis Betawi itu sudah berdiri anggun di depan kaca. Dandanannya sudah cetar. Tangan kanannya memegang aplikator lispgloss. Aku mendesis kesal.
"Kenapa loe nggak bangunin gue Cumii!" Aku menyabet handuk dan berlari ke kamar mandi. Jangan tanya aku mandi tidak. Aku hanya sempat gosok gigi dan mencuci muka. 15 menit waktu yang tersisa mungkin cukup untukku sampai ke ruang latihan papah jika aku memakai pintu doraemon.
"Kalau loe nggak cepet-cepet gue tinggal!" aku mendengar suara Nana berteriak dari dalam kamar. Aku mengeram menahan kesal. Ini anak kelihatannya kerasukan Sadako deh. Tega sekali tidak membangunkanku.
Iya, mungkin salahku juga, aku kembali tidur setelah lari pagi. Aku merasa masih bisa tidur barang 20 menit sebelum aku bersiap-siap berangkat latihan. Sialnya, aku bermimpi berpacaran dengan Jimin. Jadi keenakan deh dan tidak ingin bangun. Upppss!
Ah Sudahlah. Lupakan tentang mimpi berpacaran dengan Jimin. Hal terpenting saat ini adalah segera sampai ke ruang latihan sebelum papah paling horror sedunia itu sampai duluan.
Aku membuka pintu kamar mandi dengan kasar, berlari ke depan lemari pakaian untuk memilih—ah tidak, aku mengambil asal baju yang pertama aku sentuh. Celana jeans dan kemeja lengan panjang flanel. Warna tidak maching. Tapi sekali lagi aku tidak peduli.
Pertanyaan selanjutnya, apa aku akan berdandan secetar Nana? Tentu tidak! Aku hanya mengambil cepat lisptik dan cussion. Hanya kubawa saja untuk jaga-jaga. Jika sempat aku akan memakainya, jikapun tidak sempat aku cukup berani untuk berpenampilan bareface hari ini.
Pintu tertutup dengan keras, dan ia-nya terkunci otomatis. Aku berlari menuju ke lift. " Tungguin!!"
Bersyukur aku dapat menjangkaunya, sedetik sebelum pintu lift itu tertutup. Aku menabok lengan Nana. "Loe beneran ya jadi temen."
Nana, seorang finalis yang kutahu bernama Bella, dan seorang perempuan lagi yang kubelum tahu namanya serempak tertawa terbahak.
"Salah sendiri orang dibangunin susah bener."
"Kapan loe bangunin gue?"
"Loe nya yang nggak ngerasa gue bangunin." Nana menjawab omelanku sambil memegangi perutnya. Aku tahu dia masih ingin menertawakanku. Sebelum aku berhasil melayangkan kembali tanganku ke lengannya, gadis itu sudah melesat melarikan diri, saat pintu lift terbuka.
"Sudah-sudah jangan betengkar," Bella mencoba menengahi. Gadis itu meraih tanganku agar aku tidak mengejar Nana "Aku dapat kabar dari Sean kalau papah bakal telat karena ada rapat dadakan di kantor."
"Sean ngabarin loe?" Nada suara Nana terasa ada yang berbeda. Gadis betawi itu seperti menemukan alasan untuk mengerem paksa langkahnya. Dengan mantap dia berbalik dan mendekati Bella.
Bella mengangguk lugu.
"Kalian sudah bertukar nomor Whatapps? Kapan? Di mana?" pertanyaan Nana semakin mengintimidasi. Bella melirikku bingung. Aku segera menabok lengan Nana. "Loe nggak punya pertanyaan lainnya apa! Yuk cepetan ke kelas. Jangan cerewet!"
Aku menyeret Nana menjauh dari Bella. Nana mengomel, mengatakan dia belum mendengar jawaban Bella. Kali ini aku yang mendesis kesal menyuruhnya diam.
"Loe masih ingat tujuan kita di sini?? Yuk Fokus! Jangan biarin apapun menganggu impian kita. Ngerti maksud gue!" ucapku setengah berbisik, mengingat Bella berjalan di belakang kami bersama 1 orang finalis lainnya.
Nana akhirnya diam, dan aku cukup yakin dia mengerti maksudku. Saat ini, langkah ku dan langkah Nana sudah mencapai titik 30 besar. Dan posisi ini kami capai bukan tanpa perjuangan keras. Bukankah semua itu tidak sepadan jika harus ditukar dengan sebuah benih perasaan tak semestinya?
Kenapa aku mengatakan tak semestinya? Karena ia hadir di waktu yang tidak tepat.
<<>>
KAMU SEDANG MEMBACA
IDOLS IN LOVE
General FictionAku tidak tahu kehidupan yang dulu selalu aku aminkah disetiap sujudku, akan terasa begitu rumit saat ini. Perjuangan yang dulu selalu aku optimiskan pelan-pelan merangkak ke titik pesimis. Cacian, makian, tekanan yang dulu selalu aku entengkan, mul...