Different

371 16 0
                                    

Pagi ini matahari mengintip di balik cakrawala, terasa sendu seperti kemarin. Angin yang menerobos oversized hoodie yang kupakai juga masih sedingin sehari lalu. Bahkan beberapa burung yang asyik berkicau terdengar semerdu biasanya. Tapi entah kenapa aku merasa ada sesuatu yang berbeda. Apa karena tiga minggu terlewati dengan begitu cepat, secepat Flow, Rossa dan Rachel yang harus pulang lebih dulu—atau karena pada akhirnya aku mulai sadar bahwa setiap orang akan dipaksa untuk menempuh jalan yang berbeda, yang mungkin bukan kemauan mereka.

Aku masih ingat betul, bagaimana Rachel yang pulang dua hari lalu harus mengepak barang-barangnya di hotel dengan air mata yang terus mengalir, bukan hanya karena kesedihannya harus berpisah dengan kami—para finalis yang masih bertahan—tetapi juga karena pihak STAR IDOLS Management hanya memberikan waktu satu hari untuk membereskan semuanya dan PULANG. Pulang dengan membawa semua harapan yang harus tertunda terwujudkan.

Aku menahan nafas. Memutuskan untuk duduk di taman perumahan. Terbayang 12 finalis yang tertinggal termasuk diriku. Nana, Sean, Bella, Daren, Nick, Rama, Erro, Clara, Alice, Harsh, dan Darren. Tak ada yang tahu siapa yang akan terpangkas mimpinya minggu ini. Bisa diantara mereka, bisa juga diriku.

Lalu, apakah aku siap jika minggu ini adalah penampilan terakhirku?

Tak dipungkiri aku tidak mau.

Sampai saat ini aku memang masih berpendirian bahwa aku bernyanyi untuk diriku sendiri. Aku tidak peduli apakah oranglain menyukai caraku bernyanyi atau tidak. Aku benar-benar berada di titik seidealis itu. Ketika di panggung, aku akan dengan sangat mudah menjadikanku sang pemeran utama untuk pertunjukanku sendiri. Dan itu sangat berhasil menghanguskan semua ekspektasiku , entah untuk hasil eksekusi laguku atau hasil voting pemirsa yang dimana ia adalah penentu segalanya.

Untuk sesaat aku tidak masalah jika harus pulang, kapanpun aku ditakdirkan.

Tapi makin ke sini, setelah aku mendengar suara getar terenyuh ayah ibuku yang begitu bangga kepada anak bungsunya, suara riuh gempita SAVLOVA, fansbaseku yang semakin bertambah jumlahnya, lalu beberapa sahabat dan kenalan yang juga mulai bermunculan menyuarakan keakrabannya, aku mulai sadar bahwa aku, pada akhirnya tidak hanya menyanyi untuk diriku sendiri, tetapi juga untuk mereka semua.

Pelan tapi pasti, aku merasa khawatir jika penampilanku tidak bisa memenuhi dahaga para pendukungku. Khawatir jika tiba-tiba voting yang kuperoleh turun dan harus berada di posisi tidak aman. Aku semakin takut mengecewakan mereka.

Ya. Beban seperti itu kembali datang.

Apalagi sudah jadi rahasia umum, dan kukira semua finalis juga sudah mengetahuinya kalau peran fans sangat berpengaruh pada voting finalis di STAR IDOLS. Persaingan kuantitas fansbase semakin ketat. Sampai saat ini finalis yang paling banyak fansnya adalah Sean dan Bella. Kedekatan mereka berdua ternyata sangat berdampak pada dukungan yang mereka dapatkan. Beberapa kali pihak televisi malah menambahkan gimmick diantara mereka agar rating STAR IDOLS semakin tinggi. Ya, walau tidak setuju aku tidak mempermasalahkannya, karena aku yakin perasaan Sean ke Bella bukan hanya sekedar gimmick belaka.

Aku memandang lampu rumah yang ada di depanku padam. Aku baru tersadar bahwa suasana sekitar mulai terang. Aku mengangkat pergelangan untuk melihat jam tangan. Oh, sudah pukul 06.00 wib ternyata.

Aku baru akan berdiri saat ekor mataku menangkap sosok laki-laki berjalan menuju ke arahku. Aku menyebik, lalu memilih untuk mengambil langkah, berjalan lebih dulu. Aku sedang tak ingin mengobrol dengannya. Ya, walau kuakui hubunganku dengannya akhir-akhir semakin baik. Beberapa kali kami mengobrol dengan 'normal'. Tidak ada bertengkar, tidak ada rasa malas menanggapi. Tetapi entah karena apa, aku merasa ada sisi dari diriku yang tidak menginginkan untuk terlalu dekat dengannya.

Aku menoleh saat laki-laki itu berhasil menyusulku dan sudah lari di sebelahku.

"Loe sengaja ngehindarin gue?"

Aku melotot. "Dih, siapa loe sampai gue hindarin?"

"Ya kenapa juga setelah tahu gue mau nyamperin loe langsung cabut?"

"Loe sadar ini jam berapa? Kita ada kelas pukul 07.00 wib, loe lupa?"

Nick diam sejenak, sebelum akhirnya kembali bersuara. "Loe nggak ada capeknya emang, malam insomnia, pagi-pagi udah lari pagi, terus latihan sampai malam. Orang kok kaya nggak ada istirahatnya. Jangan terlalu ambisius."

Aku meliriknya sekilas. Belum ingin merespon.

"Ya walau gue tahu di kelas loe kebanyakan tidurnya daripada konsennya."

"Loe nggak lihat diri loe sendiri? Yang selalu tidur di kelas siapa gue atau loe?"

"Gue, dan loe!" Nick tertawa.

"Dih!"

"Gue sama kaya loe Sav, insomnia. Malam nggak bisa tidur,"

"Tapi bagusnya, pagi loe masih bisa olahraga,"

"Balik dari olahraga gini kalau ketemu bantal gue bisa ketiduran Sav,"

Lah kok bisa sama.

"Makanya gue sering terlambat. Loe juga kenapa akhir-akhir ini sering telat. Nemenin gue dihukum mulu,"

"Gue kalau dandan lama,"

"Dandan? Loe?"

"Kenapa responnya kaya nggak percaya gitu?"

"Nggak! Soalnya nggak kelihatan hasilnya. Biasanya kalau cewek dandan tambah cantikkan?"

"Sumpah, gue lempar lo, Nick!"

Laki-laki kutup utara yang berlari di sampingku kembali tertawa. Begitu lepas. Aku menghentikan lariku, menatapnya penasaran. "Loe hari ini banyak ngomong ya?"

"Hem?" Nick menoleh, menatapku seakan dia juga baru menyadari bahwa dia beberapa menit ini terlalu banyak bicara. Laki-laki itu menyentuh hidung, bertingkah bingung, untuk kemudian tanpa meresponku, langsung melarikan diri, meninggalkanku yang masih sibuk mencari tahu, alasan kenapa Nick semakin ke sini semakin 'tak seperti dulu'.

<<>>

IDOLS IN LOVETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang