"Nggak terasa ya besok lusa SHOW TIME. Gue merasa belum siap. Kata coach gue lemah di nada tinggi, nafas gue juga masih pendek." Nana menjatuhkan diri ke sofa biru pastel. Nafasnya terengah. Maklum saja, kami baru saja selesai berlatih. Hari ini agendanya latihan olah vocal, latihan pernafasan dan improvisasi. Coach yang melatih kami adalah coach Andi. Kami biasa memanggilnya Papah.
"Gue udah ngajak lo lari pagi ya tiap hari. Lo-nya yang nggak mau."
"Iye-iye. Bawel,"
"Lah!"
"Masalahnya gue nggak secantik dan secentil Cherry. Gue merasa nggak ada yang menarik dari diri gue. mau sekeras apapun usaha gue rasa-rasanya gue–,"
"Loe manis, menarik. Suara loe juga khas. Nggak ada suara yang seunik loe. Nggak usah lo bandingin diri lo dengan orang lain napa?"
"Ciee..! Loe pengen gue orderin ayam geprek level setan. Mujinya sampai segitunya."
"Anak orang diajak ngobrol susah bener."
Nana tertawa ngakak. Dia berdiri dan mengambil botol air mineral.
"Nasib 3 kelompok yang lain gimana ya? Aku denger-denger coach mereka lebih enak dari Papih," tanyanya sambil kembali duduk di sampingku. Sebotol air mineral dia sodorkan.
"Lebih enak gimana?"
"Ya nggak seketat kita. Jam berlatihnya juga fleksible dan nggak se-lama kita. Mereka jam 5 sore aja sudah bisa balik kamar. Lah kita, jam 10 malam bisa balik kamar aja udah alhamdulillah."
"Semakin kita bekerja keras, semakin bagus hasilnya. Loe nggak pernah denger rumus ini?"
"Iye.Iye. Lo nggak enak banget di aja curhat."
"Jelaslah. Gue bukan mamah dedeh."
"Ih!" Nana menabok pahaku dan menggelitik perutku. Aku mengeliat kegelian dalam tawa. Dia pun tak kalah terbahak. Seperti ini saja sudah lebih cukup untuk meredakan lelah dan penat. Aku juga tidak memungkiri bahwa coach Andi melatih kami dengan sangat ketat. Pukul 07.00 wib sudah harus stand by di ruang latihan. Lalu kami akan pemanasan, berlari santai memutari ruangan persegi berdiameter 40 meter sebanyak 3 putaran. Pernah sampai 5 putaran. Setelahnya latihan pernafasan dan begiliran practice individu diiringi alunan organ Papah. Kami baru boleh istirahat pukul 12.00 wib. Hanya 30 menit.
Jangan tanya kami kembali ke kamar pukul berapa? Kalian sudah membacanya tadi. Pukul 22.00 wib bisa menselonjorkan kaki di sofa biru pastel saja, kami sudah sangat bersyukur.
Jika boleh jujur semua ini melelahkan. Belum lagi pressure dari Papah yang menginginkan semua anak didiknya dapat bernyanyi dengan bagus. Well, nyatanya tak hanya bagus saja. Kami harus bisa bernyanyi dengan hati, berkarakter, berimprovisasi. Pokoknya harus jadi yang terbaik.
"Papah nggak mau ada salah 1 dari kalian harus pulang minggu depan. Jadi jangan harap kalian bisa berleha-leha 1 minggu ini. Coach lain mungkin tidak peduli dengan impian kalian. Mau kalian lanjut atau pulang, bisa jadi mereka tak ambil pusing. Tapi Papah nggak. Papah ingin kalian semua masuk ke babak SHOW TIME. Mengerti?,"
Aku masih ingat betul perkataan papah yang terdengar begitu serius saat kami pertama kali masuk kelas latihan.
Walau keras dan kadang begitu menyeramkan saat memarahi kami, aku bisa mengerti bahwa Papah hanya ingin kami bisa meraih impian kami. Dan aku juga menganut sekte, semakin engkau berusaha keras, hasil yang kamu dapat juga akan semakin bagus. Jadi walau kelelahan fisik, hati dan pikiran, aku akan berusaha menahannya. Semua demi diriku sendiri, dan juga harapan laki-laki yang saat ini mungkin sedang duduk bersantai di ruang tengah sambil menonton televisi.
Ayah,tiba-tiba aku merindukanmu.
<<>>
KAMU SEDANG MEMBACA
IDOLS IN LOVE
General FictionAku tidak tahu kehidupan yang dulu selalu aku aminkah disetiap sujudku, akan terasa begitu rumit saat ini. Perjuangan yang dulu selalu aku optimiskan pelan-pelan merangkak ke titik pesimis. Cacian, makian, tekanan yang dulu selalu aku entengkan, mul...