His Confession

848 27 2
                                    

Malam yang penuh perjuangan sementara terjeda. Aku ke luar ruang latihan, berjalan lemas menuju balkon. Satu botol air mineral tergenggam di jemariku. Beberapa finalis memilih kembali ke hotel, istirahat di kamar masing-masing. Aku yang sedari awal ingin menyendiri, memilih menyisih di sini.

Ku tatap jejeran gedung yang menjulang di sekitarku. Pas di depanku, berdiri hotel megah, tempat kami ber-11 menginap satu bulan ini dan untuk beberapa bulan ke depan. Di sebelah kanan ada studio super besar, tempat dimana kami bernyanyi setiap minggu. Di sebelah kiri ada gedung perkantoran MTV Center. Aku sendiri berada di gedung berlantai tiga, dimana diperuntukkan untuk latihan para Talent Televisi.

Jam di pergelangan tanganku menunjuk pukul tujuh malam. Papah memberi kami waktu satu jam untuk istirahat. Nana tadi sempat mengajakku makan malam, karena nasi kotak dari catering memang sudah datang dari pukul 5 sore. Tapi aku sedang tidak lapar, jadi aku menyuruh Clara untuk menemani Nana, menggantikanku.

Aku memandang jauh kearah perumahan mewah yang tak jauh jaraknya dari Hotel. Dua anak kecil terlihat turun dari mobil bersama dua orang tuanya. Mereka berlarian gembira menuju ke dalam rumah. Begitu riang tanpa ada beban. Ironis, lagi-lagi aku ingin kembali menjadi seperti mereka. Menyenangkan bukan, saat kita hanya dituntut bermain dan sedikit belajar, tanpa sedikitpun memikirkan masa depan.

Perhatianku teralihkan saat pintu balkon tergeser pelan. Aku menoleh ke belakang demi menemukan seseorang yang beberapa hari ini coba kuhindari.

"Hei!" laki-laki itu menyapa dengan canggung.

Aku berusaha mengacuhkannya. Entahlah, aku sendiri masih bingung. Tiga hari lalu aku meninggalkannya tanpa mengatakan apapun. Dan sampai detik ini aku sangat amat berusaha tidak berdekatan dengannya. Semata karena aku tidak tahu apa yang harus kukatakan jika dia bertanya tentang sesuatu yang jelas kutahu. Haruskah aku berpura-pura tidak mendengar semuanya? Haruskah aku berlagak tidak peduli?

Aku sungguh tidak yakin aku bisa berlakon biasa saja di saat aku tahu rahasia yang coba dia sembunyikan.

"Sudah lama gue pengen ngomong sesuatu sama loe Sav—"

Nick, berdiri di sampingku, menopang dua tangannya di pagar besi balkon. Walau tidak menatapnya, aku bisa mengetahui bahwa laki-laki ini maju mundur untuk berbicara denganku.

Lima menit berlalu, dan Nick tetap bergeming. Aku sendiri gusar harus berkata apa, karena jujur, jika diperbolehkan untuk bersuara, aku tidak setuju dengan perShiperan. Apalagi tujuan pershiperan ini disalahgunakan. Tetapi aku juga sadar, masing-masing orang berhak atas hidupnya. Jika Nick dan Cherry memilih untuk melakukan hal yang mereka katakan tiga hari lalu, entah itu beneran atau berpura-pura, semua kembali kepada mereka berdua. Aku tidak berhak berkomentar apalagi menghakimi.

Aku yakin Nick juga mempunyai alasan kenapa dia melakukan itu.

"Gue mau ngomong tentang—"

Ucapannya menggantung.

Aku menggeser badanku, menghadap Nick. Laki-laki itu melakukan hal yang sama. Untuk beberapa detik kami berhadapan dalam diam. Mencoba berkomunikasi lewat mata kami.

"Jika loe nggak mau cerita nggak usah cerita. Tenang saja, aku tidak mendengar apapun kemarin. Tidak! Maksudku anggap saja aku tidak mendengar apapun,"

"Gue hanya nggak mau loe salah paham,"

"Gue nggak akan salah paham, cuman—"

Entah kenapa aku tiba-tiba ingin mengutarakan pemikiranku tentang laki-laki ini.

"Cuman?"

Aku sadar aku berhasil membuat Nick penasaran. Buktinya laki-laki itu berjalan satu langkah mendekatiku.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 27, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

IDOLS IN LOVETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang